This is the eas…

This is the easiest way to manually verify blog Anda. Add kalimat berikut anywhere on the root page of Anda blog. This can be done by publishing posting baru, adding this sentence to a sidebar, a footeratau sebagai bagian dari an existing post. We recommend adding this to template anda, then removing it after your blog is verified.

  • One size fits all rabbit costume

Ummu Walad

UMMU WALAD

Oleh
Syaikh Abu Bakar Jabir Al-Jaza’iri

Pengertian Ummu Walad
Ummu Walad ialah budak wanita yang digauli pemiliknya dan melahirkan anak darinya, baik laki-laki atau perempuan.

Hukum Menggauli Ummu Walad
Pemilik budak wanita boleh menggauli budak wanitanya, dan jika budak wanitanya tersebut melahirkan anak, maka ia menjadi ibu dari anaknya tersebut, berdasarkan firman Allah Subhanahu wa Ta’ala

وَالَّذِينَ هُمْ لِفُرُوجِهِمْ حَافِظُونَ إِلَّا عَلَىٰ أَزْوَاجِهِمْ أَوْ مَا مَلَكَتْ أَيْمَانُهُمْ فَإِنَّهُمْ غَيْرُ مَلُومِينَ

“Dan orang-orang yang memelihara kemaluannya, kecuali terhadap istri-istri mereka atau budak-budak yang mereka miliki, maka sesungguhnya mereka dalam hal ini tiada tercela” [Al-Ma’arij : 29-30]

Juga dikarenakan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam pun menggauli Mariyah Al-Qibthiyah, kemudian ia melahirkan Ibrahim, searaya beliau bersabda, “Mariyah dimerdekakan oleh anaknya” [1]. Juga Nabi Ibrahim Alaihissallam menggauli Hajar, kemudian ia melahirkan Nabi Ismail Alaihissallam.

Hikmah Menggauli Budak Wanita
Di antara hikmah menggauli budak wanita adalah sebagai berikut:

1. Ungkapan kasih sayang terhadap budak wanita dengan memenuhi kebutuhan syahwatnya.

2. Menjadikannya sebagai Ummu Walad yang akan merdeka dengan kematian pemiliknya.

3. Dengan digauli oleh pemiliknya, maka pemilik budak wanita tersebut akan semakin peduli kepada budak wanitanya itu dengan memperhatikan kebersihannya, pakaiannya, kamar tidurnya, makanannya dan lain-lain.

4. Memberi kemudahan kepada orang Islam, karena bisa jadi ia tidak mampu menikahi wanita merdeka, maka diberi kemudahan dengan dibolehkannya menggauli budak wanitanya untuk meringankannya dan sebagai ungkapan kasih sayang terhadapnya.

Beberapa Ketentuan Hukum Tentang Ummu Walad
Adapun hukum-hukum yang berkaitan dengan Ummu Walad adalah sebagai berikut.

1. Ummu Walad sama seperti budak wanita lainnya dalam hal pelayanannya, hubungan seksualnya, kemerdekaan dirinya, batasan auratnya dan pernikahannya. Akan tetapi Ummu Walad tidak boleh dijual, karena Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah melarang penjualan Ummu Walad (HR Imam Malik). Hal itu dikarenakan, bahwa penjualan Ummu Walad bertentangan dengan kemerdekaan dirinya kelak sepeninggal pemiliknya.

2. Ummu Walad dimerdekakan dengan kematian pemiliknya, berdasarkan sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam.

أَيُّمَا أَمَةٍ وَلَدَتْ مِنْ سَيِّدِ هَا فَهِيَ حُرَّ ةٌ عَنْ دُبُرٍ مِنْهُ

“Budak wanita manapun yang melahirkan anak dari pemiliknya (tuannya), maka ia dimerdekakan setelah kematian pemiliknya (tuannya)’ [HR Ibnu Majah no. 2516]

3. Budak wanita tetap dihukumi Ummu Walad, meskipun ia mengalami keguguran, jika hal itu terjadi setelah janinnya sempurna penciptaannya dan bentuknya bisa dibedakan, karena Umar Radhiyallahu anhu berkata, “Jika budak wanita melahirkan anak dari pemiliknya maka ia dimerdekakan meski mengalami keguguran. [Diriwayatkan oleh pengarang Al-Mughni]

4. Tidak ada perbedaan dalam memerdekakan Ummu Walad, apakah ia muslimah atau kafir. Sebagian ulama berpendapat, bahwa seorang budak wanita yang kafir tidak dimerdekakan, tetapi keumuman dalil menghendaki kemerdekaan budak wanita baik ia muslimah atau kafir. Inilah pendapat jumhur ulama.

5. Jika Ummu Walad itu dimerdekakan setelah kematian pemiliknya, maka harta milik Ummu Walad menjadi milik ahli waris pemiliknya, karena Ummu Walad adalah budak sebelum kematian pemiliknya dan seperti diketahui bahwa pendapatan budak itu menjadi milik pemiliknya.

6. Jika pemilik Ummu Walad meninggal dunia, maka Ummu Walad harus menunggu satu kali haid, karena ia keluar dari kepemilikan pemiliknya dan berubah menjadi wanita merdeka.

[Disalin kitab Minhajul Muslim edisi Indonesia Minhajul Muslim Konsep Hidup Ideal Dalam Islam, Penulis Syaikh Abu Bakar Jabir Al-Jaza’iri, Penerjemah Musthofa ‘Aini, Amir Hamzah Fachrudin, Penerbit Darul Haq-Jakarta]
_______
Footnote
[1]. HR Ibnu Majah (2516) dan Ad-Daruquthni (4/131), Hadits ini cacat, akan tetapi jumhul ulama mengamalkannya.

Sejarah Dan Asal-Usul Riqq (Perbudakan)

SEJARAH DAN ASAL-USUL RIQQ (PERBUDAKAN)

Oleh
Syaikh Abu Bakar Jabir Al-Jaza’iri

Riqq (Perbudakan) sudah dikenal manusia sejak beribu-ribu tahun yang lalu, dan telah dijumpai di kalangan bangsa-bangsa kuno seperti : Mesir, Cina, India, Yunani dan Romawi, juga hal itu disebutkan dalam kitab-kitab samawi seperti Taurat dan Injil.

Hajar, ibunda Ismail bin Ibrahim Alaihissallam asalnya adalah seorang budak wanita yang dihadiahkan oleh Raja Mesir kepada Sarah, istri Nabi Ibrahim Alaihissallam. Sarah pun menerimanya dan memberikannya kepada suaminya (Nabi Ibrahim Alaihissallam), kemudian Nabi Ibrahim Alaihissallam menggaulinya yang kemudian melahirkan Nabi Ismail Alaihissallam untuknya.

Adapun asal-usul terjadinya riqq (perbudakan) adalah karena sebab-sebab berikut ini :

1. Perang. Jika sekelompok manusia memerangi kelompok manusia lainnya dan berhasil mengalahkannya, maka mereka menjadikan para wanita dan anak-anak kelompok yang berhasil dikalahkannya sebagai budak.

2. Kefakiran. Tidak jarang kefakiran mendorong manusia menjual anak-anak mereka untuk dijadikan sebagai budak bagi manusia lainnya.

3. Perampokan dan pembajakan. Pada masa lalu rombongan besar bangsa-bangsa Eropa singgah di Afrika dan menangkap orang-orang Negro, kemudian menjual mereka di pasar-pasar budak Eropa. Di samping itu para pembajak laut dari Eropa membajak kapal-kapal yang melintas di lautan dan menyerang para penumpangnya, dan jika mereka berhasil mengalahkannya, maka mereka menjual para penumpangnya di pasar-pasar budak Eropa dan mereka memakan hasil penjualannya.

Islam adalah agama Allah yang benar, tidak membolehkan sebab-sebab tersebut diatas, kecuali hanya satu sebab saja yaitu perbudakan karena perang dan hal itu merupakan rahmat bagi manusia. Pada umumnya para pemenang perang cenderung berbuat kerusakan karena pengaruh kebencian, di mana mereka tega membunuh para wanita dan anak-anak untuk melampiaskan kebencian mereka terhadap kaum laki-lakinya yang berperang dengan mereka, yaitu dengan cara membunuh kaum wanitanya dan anak-anaknya.

Sedangkan alasan agama Islam membolehkan para pemeluknya memperbudak para wanita dan anak-anak kaum yang dikalahkannya ialah :

1. Untuk memelihara kelangsungan hidup mereka.
2. Untuk membahagiakan dan memerdekakan mereka

Adapun terhadap para tentara laki-laki musuh, maka imam diberikan kebebasan untuk menentukan pilihannnya antara membebaskan mereka tanpa tebusan ataupun membebaskan mereka dengan tebusan harta atau senjata atau tawanan lainnya (pertukaran tawanan). Sebagaimana hal teresebut disinyalir oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala dalam firman-Nya.

فَإِذَا لَقِيتُمُ الَّذِينَ كَفَرُوا فَضَرْبَ الرِّقَابِ حَتَّىٰ إِذَا أَثْخَنتُمُوهُمْ فَشُدُّوا الْوَثَاقَ فَإِمَّا مَنًّا بَعْدُ وَإِمَّا فِدَاءً حَتَّىٰ تَضَعَ الْحَرْبُ أَوْزَارَهَا

“Apabila kamu bertemu dengan orang-orang kafir (di medan perang) maka pancunglah batang leher mereka. Sehingga apabila kamu telah mengalahkan mereka maka tawanlah mereka dan sesudah itu kamu boleh membebaskan mereka atau menerima tebusan sampai perang berhenti” [Muhammad : 4]

[Disalin kitab Minhajul Muslim edisi Indonesia Minhajul Muslim Konsep Hidup Ideal Dalam Islam, Penulis Syaikh Abu Bakar Jabir Al-Jaza’iri, Penerjemah Musthofa ‘Aini, Amir Hamzah Fachrudin, Penerbit Darul Haq-Jakarta]

Hukum Seputar Keluarga Berencana

SEPUTAR HUKUM KELUARGA BERENCANA [KB]

Oleh
Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz

Pertanyaan.
Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah Baz ditanya : Apa hukum KB ?

Jawaban.
Ini adalah permasalahan yang muncul sekarang, dan banyak pertanyaan muncul berkaitan dengan hal ini. Permasalahan ini telah dipelajari oleh Haiah Kibaril Ulama (Lembaga di Saudi Arabia yang beranggotakan para ulama) di dalam sebuah pertemuan yang telah lewat dan telah ditetapkan keputusan yang ringkasnya adalah tidak boleh mengkonsumsi pil-pil untuk mencegah kehamilan.

Karena Allah Subhanahu wa Ta’ala mensyariatkan untuk hamba-Nya sebab-sebab untuk mendapatkan keuturunan dan memperbanyak jumlah umat. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda.

“Artinya : Nikahilah wanita yang banyak anak lagi penyayang, karena sesungguhnya aku berlomba-lomba dalam banyak umat dengan umat-umat yang lain di hari kiamat dalam riwayat yang lain : dengan para nabi di hari kiamat)”. [Hadits Shahih diriwayatkan oleh Abu Daud 1/320, Nasa’i 2/71, Ibnu Hibban no. 1229, Hakim 2/162 (lihat takhrijnya dalam Al-Insyirah hal.29 Adazbuz Zifaf hal 60) ; Baihaqi 781, Abu Nu’aim dalam Al-Hilyah 3/61-62]

Karena umat itu membutuhkan jumlah yang banyak, sehingga mereka beribadah kepada Allah, berjihad di jalan-Nya, melindungi kaum muslimin -dengan ijin Allah-, dan Allah akan menjaga mereka dan tipu daya musuh-musuh mereka.

Maka wajib untuk meninggalkan perkara ini (membatasi kelahiran), tidak membolehkannya dan tidak menggunakannya kecuali darurat. Jika dalam keadaan darurat maka tidak mengapa, seperti :

[a]. Sang istri tertimpa penyakit di dalam rahimnya, atau anggota badan yang lain, sehingga berbahaya jika hamil, maka tidak mengapa (menggunakan pil-pil tersebut) untuk keperluan ini.

[b]. Demikian juga, jika sudah memiliki anak banyak, sedangkan isteri keberatan jika hamil lagi, maka tidak terlarang mengkonsumsi pil-pil tersebut dalam waktu tertentu, seperti setahun atau dua tahun dalam masa menyusui, sehingga ia merasa ringan untuk kembali hamil, sehingga ia bisa mendidik dengan selayaknya.

Adapun jika penggunaannya dengan maksud berkonsentrasi dalam berkarier atau supaya hidup senang atau hal-hal lain yang serupa dengan itu, sebagaimana yang dilakukan kebanyakan wanita zaman sekarang, maka hal itu tidak boleh”.

[Fatawa Mar’ah, dikumpulkan oleh Muhammad Al-Musnad, Darul Wathan, cetakan pertama 1412H]

Pertanyaan.
Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz ditanya : “Ada seorang wanita berusia kurang lebih 29 tahun, telah memiliki 10 orang anak. Ketika ia telah melahirkan anak terakhir ia harus melakukan operasi dan ia meminta ijin kepada suaminya sebelum operasi untuk melaksanakan tubektomi (mengikat rahim) supaya tidak bisa melahirkan lagi, dan disamping itu juga disebabkan masalah kesehatan, yaitu jika ia memakai pil-pil pencegah kehamilan akan berpengaruh terhadap kesehatannya. Dan suaminya telah mengijinkan untuk melakukan operasi tersebut. maka apakah si istri dan suami mendapatkan dosa karena hal itu ?”

Jawaban.
Tidak mengapa ia melakukan operasi/pembedahan jika para dokter (terpercaya) menyatakan bahwa jika melahirkan lagi bisa membahayakannya, setelah mendapatkan ijin dari suaminya.

[Fatawa Mar’ah Muslimah Juz 2 hal. 978, Maktabah Aadh-Waus Salaf, cet ke 2. 1416H]

SEPUTAR HUKUM KELUARGA BERENCANA [KB]

Oleh
Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin

Pertanyaan.
Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin ditanya : Seorang ikhwan bertanya hukum KB tanpa udzur, dan adakah Udzur yang membolehkannya?”

Jawaban.
Para ulama telah menegaskan bahwa memutuskan keturunan sama sekali adalah haram, karena hal tersebut bertentangan dengan maksud Nabi mensyari’atkan pernikahan kepada umatnya, dan hal tersebut merupakan salah satu sebab kehinaan kaum muslimin. Karena jika kaum muslimin berjumlah banyak, (maka hal itu) akan menimbulkan kemuliaan dan kewibawaaan bagi mereka. Karena jumlah umat yang banyak merupakan salah satu nikmat Allah kepada Bani Israil.

“Artinya : Dan Kami jadikan kamu kelompok yang lebih besar” [Al-Isra : 6]

“Artinya : Dan ingatlah di waktu dahulunya kamu berjumlah sedikit, lalu Allah memperbanyak jumlah kamu’ [Al-A’raf : 86]

Kenyataanpun mennguatkan pernyataan di atas, karena umat yang banyak tidak membutuhkan umat yang lain, serta memiliki kekuasaan dan kehebatan di depan musuh-musuhnya. Maka seseorang tidak boleh melakukan sebab/usaha yang memutuskan keturunan sama sekali. Allahumma, kecuali dikarenakan darurat, seperti :

[a] Seorang Ibu jika hamil dikhawatirkan akan binasa atau meninggal dunia, maka dalam keadaan seperti inilah yang disebut darurat, dan tidak mengapa jika si wanita melakukan usaha untuk mencegah keturunan. Inilah dia udzur yang membolehkan mencegah keturunan.

[b] Juga seperti wanita tertimpa penyakit di rahimnya, dan ditakutkan penyakitnya akan menjalar sehingga akan menyebabkan kematian, sehingga rahimnya harus diangkat, maka tidak mengapa.

[Fatawa Al-Mar’ah Al-Muslimah Juz 2 hal. 974-975]

SEPUTAR HUKUM KELUARGA BERENCANA [KB]

Pertanyaan.
Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin ditanya : Kapan seorang wanita diperbolehkan memakai pil-pil pencegah kehamilan, dan kapan hal itu diharamkan ? Adakah nash yang tegas atau pendapat di dalam fiqih dalam masalah KB? Dan bolehkah seorang muslim melakukan azal kerika berjima tanpa sebab?”

Jawaban.
Seyogyanya bagi kaum msulimin untuk memperbanyak keturunan sebanyak mungkin, karena hal itu adalah perkara yang diarahkan oleh Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam sabdanya.

“Artinya : Nikahilah wanita yang penyayang dan banyak anak karena aku akan berlomba dalam banyak jumlahnya umat” [Hadits Shahih, diriwayatkan oleh Abu Dawud 1/320, Nasa’i 2/71, Ibnu Hibban no. 1229, Hakim 2/162, Baihaqi 781, Abu Nu’aim dalam Al-Hilyah 3/61-62]

Dan karena banyaknya umat menyebabkan (cepat bertambahnya) banyaknya umat, dan banyaknya umat merupakan salah satu sebab kemuliaan umat, sebagaimana firman Allah Subhanahu wa Ta’ala ketika menyebutkan nikmat-Nya kepada Bani Israil.

“Artinya : Dan Kami jadikan kamu kelompok yang lebih besar” [Al-Isra’ : 6]

“Artinya : Dan ingatlah di waktu dahulunya kamu berjumlah sedikit, lalu Allah memperbanyak jumlah kamu” [Al-A’raf : 86]

Dan tidak ada seorangpun mengingkari bahwa banyaknya umat merupakan sebab kemuliaan dan kekuatan suatu umat, tidak sebagaimana anggapan orang-orang yang memiliki prasangka yang jelek, (yang mereka) menganggap bahwa banyaknya umat merupakan sebab kemiskinan dan kelaparan. Jika suatu umat jumlahnya banyak dan mereka bersandar dan beriman dengan janji Allah dan firman-Nya.

“Artinya : Dan tidak ada suatu binatang melatapun di bumi melainkan Allah-lah yang memberi rezekinya” [Hud : 6]

Maka Allah pasti akan mempermudah umat tersebut dan mencukupi umat tersebut dengan karunia-Nya.

Berdasarkan penjelasan ini, jelaslah jawaban pertanyaan di atas, maka tidak sepantasnya bagi seorang wanita untuk mengkonsumsi pil-pil pencegah kehamilan kecuali dengan dua syarat.

[a] Adanya keperluan seperti ; Wanita tersebut memiliki penyakit yang menghalanginya untuk hamil setiap tahun, atau, wanita tersebut bertubuh kurus kering, atau adanya penghalang-penghalang lain yang membahayakannya jika dia hamil tiap tahun.

[b] Adanya ijin dari suami. Karena suami memiliki hak atas istri dalam masalah anak dan keturunan. Disamping itu juga harus bermusyawarah dengan dokter terpercaya di dalam masalah mengkonsumsi pil-pil ini, apakah mmakaiannya membahayakan atau tidak.

Jika dua syarat di atas dipenuhi maka tidak mengapa mengkonsumsi pil-pil ini, akan tetapi hal ini tidak boleh dilakukan terus menerus, dengan cara mengkonsumsi pil pencegah kehamilan selamanya misalnya, karena hal ini berarti memutus keturunan.

Adapun point kedua dari pertanyaan di atas maka jawabannya adalah sebagai berikut : Pembatasan keturunan adalah perkara yang tidak mungkin ada dalam kenyataan karena masalah hamil dan tidak, seluruhnya di tangan Allah Subhanahu wa Ta’ala. Jika seseorang membatasi jumlah anak dengan jumlah tertentu, maka mungkin saja seluruhnya mati dalam jangka waktu satu tahun, sehingga orang tersebut tidak lagi memiliki anak dan keturunan. Masalah pembatas keturunan adalah perkara yang tidak terdapat dalam syari’at Islam, namun pencegahan kehamilan secara tegas dihukumi sebagaimana keterangan di atas.

Adapun pertanyaan ketiga yang berkaitan dengan ‘azal ketika berjima’ tanpa adanya sebab, maka pendapat para ahli ilmu yang benar adalah tidak mengapa karena hadits dari Jabir Radhiyallahu ‘anhu.

“Artinya : Kami melakukan ‘azal sedangkan Al-Qur’an masih turun (yakni dimasa nabi Shallallahu ‘alihi wa sallam)” [Hadits Shahih Riwayat Abu Dawud 1/320 ; Nasa’i 2/71, Ibnu Hibban no. 1229, Hakim 2/162, Baihaqi 781, Abu nu’aim dalam Al-hilyah 3/61-62]

Seandainya perbuatan itu haram pasti Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah melarangnya. Akan tetapi para ahli ilmu mengatakan bahwa tidak boleh ber’azal terhadap wanita merdeka (bukan budak) kecuali dengan ijinya, yakni seorang suami tidak boleh ber’azal terhadap istri, karena sang istri memiliki hak dalam masalah keturunan. Dan ber’azal tanpa ijin istri mengurangi rasa nikmat seorang wanita, karena kenikmatan seorang wanita tidaklah sempurna kecuali sesudah tumpahnya air mani suami.

Berdasarkan keterangan ini maka ‘azal tanpa ijin berarti menghilangkan kesempurnaan rasa nikmat yang dirasakan seorang istri, dan juga menghilangkan adanya kemungkinan untuk mendapatkan keturunan. Karena ini kami menysaratkan adanya ijin dari sang istri”.

[Fatawa Syaikh ibnu Utsaimin Juj 2 hal. 764 dinukil dari Fatawa Li’umumil Ummah]

[Disalin ulang dari Majalah As-Sunnah edisi 01/Tahun V/2001M. Penerbit Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl Solo Purwodadi Km 8 Selokaton Gondangrejo, Solo 57183]

Hukum Merokok Menurut Syari’at

HUKUM MEROKOK MENURUT SYARIAT

Oleh
Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin

Pertanyaan
Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin ditanya : Apa hukum merokok menurut syari’at, berikut dalil-dalil yang mengharamkannya?

Jawaban
Merokok haram hukumnya berdasarkan makna yang terindikasi dari zhahir ayat Al-Qur’an dan As-Sunnah serta i’tibar (logika) yang benar.

Dalil dari Al-Qur’an adalah firmanNya.

“Artinya : Dan janganlah kamu menjatuhkan dirimu sendiri ke dalam kebinasaan” [Al-Baqarah : 195]

Maknanya, janganlah kamu melakukan sebab yang menjadi kebinasaanmu.

Wajhud dilalah (aspek pendalilan) dari ayat tersebut adalah bahwa merokok termasuk perbuatan mencampakkan diri sendiri ke dalam kebinasaan.

Sedangkan dalil dari As-Sunnah adalah hadits yang berasal dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam secara shahih bahwa beliau melarang menyia-nyiakan harta. Makna menyia-nyiakan harta adalah mengalokasikannya kepada hal yang tidak bermanfaat. Sebagaimana dimaklumi, bahwa mengalokasikan harta dengan membeli rokok adalah termasuk pengalokasiannya kepada hal yang tidak bermanfaat bahkan pengalokasian kepada hal yang di dalamnya terdapat kemudharatan.

Dalil dari As-Sunnah yang lainnya, sebagaimana hadits-hadits dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang berbunyi.

“Artinya : Tidak boleh (menimbulkan) bahaya dan juga tidak oleh membahayakan (orang lain)” [Hadits Riwayat Ibnu Majah, kitab Al-Ahkam 2340]

Jadi, menimbulkan bahaya (dharar) adalah ditiadakan (tidak berlaku) dalam syari’at, baik bahayanya terhadap badan, akal ataupun harta. Sebagaimana dimaklumi pula, bahwa merokok adalah berbahaya terhadap badan dan harta.

Adapun dalil dari i’tibar (logika) yang benar, yang menunjukkan keharaman merokok adalah karena (dengan perbuatannya itu) si perokok mencampakkan dirinya sendiri ke dalam hal yang menimbulkan hal yang berbahaya, rasa cemas dan keletihan jiwa. Orang yang berakal tentunya tidak rela hal itu terjadi terhadap dirinya sendiri. Alangkah tragisnya kondisi dan demikian sesak dada si perokok, bila dirinya tidak menghisapnya. Alangkah berat dirinya berpuasa dan melakukan ibadah-ibadah lainnya karena hal itu meghalangi dirinya dari merokok. Bahkan, alangkah berat dirinya berinteraksi dengan orang-orang yang shalih karena tidak mungkin mereka membiarkan rokok mengepul di hadapan mereka. Karenanya, anda akan melihat dirinya demikian tidak karuan bila duduk-duduk bersama mereka dan berinteraksi dengan mereka.

Semua i’tibar tersebut menunjukkan bahwa merokok adalah diharamkan hukumnya. Karena itu, nasehat saya buat saudaraku kaum muslimin yang didera oleh kebiasaan menghisapnya agar memohon pertolongan kepada Allah dan mengikat tekad untuk meninggalakannya sebab di dalam tekad yang tulus disertai dengan memohon pertolongan kepada Allah serta megharap pahalaNya dan menghindari siksaanNya, semua itu adalah amat membantu di dalam upaya meninggalkannya tersebut.

Jika ada orang yang berkilah, “Sesungguhnya kami tidak menemukan nash, baik di dalam Kitabullah ataupun Sunnah RasulNya perihal haramnya merokok itu sendiri”.

Jawaban atas statemen ini, bahwa nash-nash Kitabullah dan As-Sunnah terdiri dari dua jenis.

[1]. Satu jenis yang dalil-dalilnya bersifat umum seperti Adh-Dhawabith (ketentuan-ketentuan) dan kaidah-kaidah di mana mencakup rincian-rincian yang banyak sekali hingga Hari Kiamat.

[2]. Satu jenis lagi yang dalil-dalilnya memang diarahkan kepada sesuatu itu sendiri secara langsung.

Sebagai contoh untuk jenis pertama adalah ayat Al-Qur’an dan dua buah hadits yang telah kami singgung di atas yang menujukkan secara umum keharaman merokok sekalipun tidak secara langsung diarahkan kepadanya.

Sedangkan untuk contoh jenis kedua adalah firmanNya.

“Artinya : Diharamkan bagimu (memakan) bangkai, darah, daging babi, (daging hewan) yang disembelih atas nama selain Allah” [Al-Maidah : 3]

Dan firmanNya.

“Artinya : Hai orang-orang yang beriman, sesunguhnya (meminum) khamr, berjudi (berkorban untuk) berhala, mengundi nasib dengan panah, adalah perbuatan keji termasuk perbuatan syetan. Maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu” [Al-Ma’idah : 90]

Jadi, baik nash-nash tersebut termasuk ke dalam jenis pertama atau jenis kedua, maka ia bersifat keniscayaan (keharusan) bagi semua hamba Allah karena dari sisi pendalilan mengindikasikan hal itu.

[Program Nur Alad Darb, dari Fatwa Syaikh Ibn Utsaimin]

[Disalin dari buku Al-Fatawa Asy-Syar’iyyah Fi Al-Masa’il Al-Ashriyyah Min Fatawa Ulama Al-Balad Al-Haram, edisi Indonesia Fatwa-Fatwa Terkini, Penerbit Darul Haq]