Ada Apa Dengan Syaikh Ali Al-Halabi Dan Syaikh Kholid Al-Anbari -Hafidzahumallahu-???

ADA APA DENGAN SYAIKH ALI AL-HALABI DAN SYAIKH KHOLID AL-ANBARI –HAFIDZAHUMALLAHU-???

Oleh
Ustadz Abdurrahman Thoyyib As-Salafy

Diantara sekian banyak para masyayikh dakwah Salafiyah yang tidak selamat dari tuduhan Murji’ah yang dilontarkan oleh para harokiyin, sururiyin dan takfiriyin adalah Syaikh Ali bin Hasan Al-Halabi Al-Atsari dan Syaikh Kholid bin Ali bin Muhammad Al-Anbari –hafidzhumallahu-. Dan yang amat disayangkan adalah adanya fatwa Lanjah Daimah yang juga ikut serta mendukung orang-orang tersebut dengan menuduh bahwa di dalam beberapa kitab kedua syaikh tersebut terdapat pemikiran Murji’ah. Padahal kalau ditilik kembali kitab-kitab mereka tersebut sangat jauh dari pemikiran Murji’ah. Mereka adalah masyayaikh Ahlu Sunnah yang jauh dari pemikiran Murji’ah, aqidah mereka aqidah Salaf Ashabul Hadits khususnya yang berkaitan dengan masalah iman. Oleh karenanya Syaikh Ali bin Hasan dan Syaikh Kholid menulis jawaban akan fatwa Lajnah Daimah tersebut. Mereka berdua meminta kepada Lajnah Daimah untuk membuktikan dengan jelas mana pemikiran Murji’ah yang terdapat dalam kitab mereka.

Adapun Syaikh Ali bin Hasan Al-Halabi –hafidzahullahu-, maka dalam menanggapi fatwa Lajnah Daimah serta tuduhan Murji’ah ini beliau banyak menulis kitab yang menjelaskan kepada siapa saja yang hatinya masih bersih akan jauhnya beliau dari aqidah Murji’ah. Maka barangsiapa yang telah teracuni oleh syubhat bahwa Syaikh Ali Murji’ah atau sebagian buku beliau ada pemikiran Murji’ah hendaklah membaca kitab-kitab berikut ini agar dia tidak berbicara kecuali dengan ilmu dan bukti yang nyata : Al-Ajwibah Al-Mutalaaimah Ala Fatwal Lajnah Ad-Daimah, At-Ta’rif Wat Tanbi’ah, At-Tanbihaat Al-Mutawaaimah, Al-Hujjah Al-Qoimah Ala Fatwal Lajnah Ad-Daimah, Ar-Roddul Burhani, Kalimatun Sawaa dan lain-lain.

Diantara yang beliau ucapkan dalam menanggapi fatwa Lajnah Daimah adalah : “Oleh karena ucapan ulama meski tinggi derajat dan kedudukannya, bisa diterima dan bisa di tolak serta kemungkinan bisa salah bisa benar, maka saya ingin menulis sebuah dialog ilmiah yang ringkas untuk menjawab fatwa lajnah yang terhormat. Semoga apa yang akan saya sampaikan ini dari hujjah-hujjah dan dalil-dalil menjadi penjelas bagi jalan kebenaran. Semoga rahmat Allah bagi Imam Abdurrohman bin Hasan bin Muhammad bin Abdul Wahab yang telah berkata : “Wajib bagi orang yang masih mengasihi dirinya, apabila membaca kitab-kitab para ulama dan melihat isinya serta mengetahui ucapan mereka agar dia menimbangnya dengan Al-Qur’an dan Sunnah. Karena setiap mujtahid dari kalangan para ulama dan yang mengikuti mereka serta yang menisbatkan diri kepada mereka haruslah menyebutkan dalilnya. Kebenaran hanya satu dalam setiap permasalahan dan para imam-iman itu diberi pahala akan ijtihad mereka. Orang yang bijak ketika membaca ucapan mereka dan mempelajarinya, dia menjadikannya sebagai jalan untuk mengetahui permasalahan dan untuk mengetahui yang benar dan salah dengan melihat dalil-dalilnya…” Dari sinilah saya ingin memulai jawaban saya dengan penuh hormat terhadap para masyayyikh yang mulia dan semoga ucapanku dan dialog ini –insya Allah- sesuai dengan apa yang ada dalam hati kami dari penghormatan terhadap mereka…” [1]

Terlebih lagi fatwa tersebut tidak disepakati oleh seorang alim rabbani faqiihul ummah yang juga anggota kibarul ulama serta anggota Lajnah Daimah yaitu Fadhilatusy Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin rahimahullah. Inilah pendapat beliau tentang fawa tersebut : “Ini adalah suatu kesalahan dari Lajnah dan aku merasa terganggu dengan adanya fatwa ini. Fatwa ini telah memecah-belah kaum muslimin diseluruh negeri sampai-sampai mereka menghubungiku baik dari Amerika maupun Eropa. Tidak ada yang dapat mengambil manfaat dari fatwa ini melainkan takfiriyun (tukang mengkafirkan) dan tsauriyun (para pemberontak)”. Beliau juga berkata : “Saya tidak suka keluarnya fatwa ini, karena membuat bingung manusia. Dan nasehatku kepada para penuntut ilmu agar tidak terlalu berpegang teguh dengan fatwa fulan atau fulan”. [2]

Dan renungkanlah –wahai sauadaraku- ucapan emas dari seorang ahlu ushul serta imam dan khotib Masjidil Rasul Shallallahu ‘alaihi wa sallam, Fadhilatusy Syaikh Husein bin Abdul Aziz Alu Syaikh –hafidzahullahu-. Beliau pernah ditanya : Fadhilatusy Syaikh –jazakumullahu khairan- : Apa pendapat anda tentang fatwa yang dikeluarkan oleh Lajnah Da’imah seputar dua kitab Syaikh Ali bin Hasan –hafidzahullahu- (At-Tahdzir) dan (Shoihatu Nadzir), bahwa kedua kitab tersebut menyeru kepada pemikiran Murji’ah bahwasanya amal bukan syarat sahnya iman, padahal kedua kitab tersebut tidak membahas sama sekali tentang syarat sah atau syarat sempurna?!”

Beliau menjawab.
Pertama-tama : Wahai saudaraku ! Syaikh Ali dan Masyayikh diatas manhaj yang satu. Dan Syaikh Ali, beliau adalah saudara besar seperti para masyayikh yang mengeluarkan fatwa tersebut. Beliau mengenal baik mereka dan mereka juga mengenal baik beliau. Mereka saling mencintai (karena Allah,-pent).

Syaikh Ali telah diberi oleh Allah ilmu dan pengetahuan –wal lillahil hamdu- yang akan dapat mengobati perkara ilmiah antara beliau dan Masyayikh. Dan perkara ini –alhamdulillah- masih ditengah perjalanan menuju titik terang kebenaran.

Adapun Syaikh Ali dan guru beliau Syaikh Al-Albani dan yang diatas manhaj sunnah tidak diragukan lagi –wal lillahil hamdu- berada diatas manhaj yang diridhoi. Dan Syaikh Ali sendiri –wal lillahil hamdu- termasuk yang membela manhaj ahli sunnah wal jama’ah.

Fatwa Lajnah tidaklah memvonis Syaikh Ali sebagai Murji’ah dan ini tidak mungkin dilakukan oleh Lajnah!! Lajnah hanya berbeda pendapat dan berdialog dengan Syaikh Ali. Adapun orang lain yang menginginkan dari munculnya fatwa ini untuk memvonis Syaih sebagai Murji’ah maka aku tidak paham (apa maksud mereka). Dan saya kira saudara-saudaraku tidak memahaminya seperti itu. Mereka para Masyayikh sangat menghormati dan menghargai beliau.

Dan Syaikh Ali telah menjawab dengan jawaban ilmiah dalam kitab “Al-Ajwibah Al-Mutalaaimah Alal Fatwal Lajnah Daimah” sebagaimana yang dialkukan oleh Salafush Shalih. Tidaklah ada diantara kita seorang pun melainkan bisa diambil ucapannya atau ditolak kecuali Rasul Shallallahu ‘alaihi wa sallam seperti yang dikatakan oleh Imam Malik rahimahullah.

“Semua ucapan kadang bisa diterima dan terkadang bisa di tolak kecuali Rasul Shallallahu ‘alaihi wa sallam”

Demikianlah keadaan umat ini, terkadang ditolak dan terkadang diterima ucapannya. Akan tetapi manusia secara tabiatnya terkadang saat pembicaraan atau dialog terdapat sedikit nada keras sampai para sahabat Radhiyallahu anhum juga demikian, seperti yang terjadi antara Abu Bakar dan Umar dan selain mereka dari kalangan sahabat.

Kesimpulannya bahwa fatwa ini menurutku tidak memvonis dan tidak menghukumi Syaikh Ali Murji’ah, akan tetapi fatwa tersebut hanyalah suatu dialog seputar buku beliau. Dan Syaikh Ali –semoga Allah selalu memberinya taufiq- ketika menulis ‘Al-Ajwibah Al-Mutalaaimah” setelah munculnya fatwa tersebut bukan untuk membantah tapi hanya sekedar menjelaskan manhaj beliau dan guru beliau Syaikh Al-Albani rahimahullah.

Kami yakin dengan seyakin-yakinnya bahwa Syaikh Ali dan guru beliau Syaikh Al-Albani rahimahullah sangat amat jauh sekali dari pemikiran Murji’ah seperti yang telah aku katakan dahulu.

Syaikh Ali misalnya kalau aku Tanya tentang apa itu iman? Demikian juga dengan Syaikh Al-Albani, maka tidaklah kami dapatkan sedikitpun dari ucapan mereka yang berbau Murji’ah yaitu bahwasanya amal bukan termasuk bagian dari iman. Bahkan ucapan-ucapan Syaikh Al-Albani rahimahullah jelas-jelas menyatakan bahwa iman adalah keyakinan dalam hati ucapan dalam lisan dan perbuatan anggota badan, bertambah dengan ketaatan dan berkurang dengan kemaksiatan.

Saya kira Syaikh Ali menyetujuiku dalam hal ini yaitu bahwasanya fatwa Lajnah bukan seperti yang didengungkan oleh sebagian orang bahwa Syaikh Ali itu Murji’ah. Sekali-kali tidak, mereka para masayayikh tidak mengucapkan seperti ini. Mereka hanya berdialog seputar kitab tersebut. Dan tidaklah para salaf dahulu berdialog kecuali karena rasa kasih sayang dan kecintaan mereka terhadap sunnah dan untuk membela sunnah. Terlebih lagi dialog tersebut bukan tentang keseluruhan kitab akan tetapi bagian kecilnya saja.

Samahatusy Syaikh Abdul Aziz Alu Syaikh mufti Kerajaan Saudi Arabia termasuk orang yang amat cinta terhadap Syaikh Ali dan aku tahu benar akan hal ini. Beliau sangat amat menghormati dan selalu mendoakan Syaikh Ali sampai setelah Syaikh Ali berjumpa dengan beliau, Samahatusy Syaikh tetap seperti itu.

Beliau juga amat menghormati dan mencintai Syaikh Al-Albani rahimahullah dari dahulu kala. Aku mengetahui hal ini semenjak Samahatusy Syaikh mengajar di kuliah Syari’ah tahun 1408H, beliau selalu menyebut nama Syaikh dengan pujian dan do’a.

Syaikh Al-Albani dan para masyayikh di Saudi Arabia dipersatukan oleh satu hal yaitu manhaj Salafush Shalih. Seandainya kita bersatu diatas hawa nafsu maka sungguh kita akan berpecah belah. Akan tetapi inilah perwujudan kasih sayang yang benar dan jujur.

Adapun kalau ada oran ketiga yang mengambil fatwa Lajnah Daimah ini dan bergembira ria karena sesuai dengan hawa nafsu mereka, tapi mereka meninggalkan yang tidak sesuai dengan mereka maka inilah jalannya ahli bid’ah” [3]

Demikian pula dengan Syaikh Kholid bin Ali bin Muhammad Al-Anbari –hafidzahullahu- yang juga tertimpa musibah dengan datangnya fatwa Lajnah yang mencekal buku beliau “ Al-Hukmu Bighoiri Maa Anzalallahu”. Padahal beliau termasuk masyayikh dakwah Salafiyah yang gigih memperjuangkan aqidah ahli sunnah sekaligus memerangi bid’ah serta hizbiyah dan amat jauh dari Murji’ah. Terlebih kitab beliau tersebut telah mendapat pujian dari para ulama semisal Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Albani rahimahullah, Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin dan Syaikh Dr Shalih bin Ghonim As-Sadlan Dosen Pasca Sarjana di Universitas Islam Imam Muhammad bin Su’ud.

Adapun pujian Syaikh Al-Albani rahimahullahu, maka beliau mengatakan : “Saudara Kholid bin Ali Al-Anbari telah menghadiahkan kepadaku kitab karangannya “Al-Hukmu Bighoiri Maa Anzalallahu..” dan aku mendapati kitab tersebut telah memenuhi temanya yang tidak butuh lagi tambahan penjelasan” [4]

Syaikh Shalih bin Ghonim As-Sadlan –hafidzahullahu- berkata : “Aku mendapatkan kitab Syaikh Kholid bin Ali bin Muhammad Al-Anbari Al-Hukmu Bighoiri Maa Anzalallahu…. Telah menepati judulnya dalam berpegang teguh dengan metode kenabian serta jalannya Shalafush Shalih dalam segala permasalahannya. Semoga Allah menganugrahkan kepada beliau pahala akan apa yang telah beliau bahas dan teliti. Dan semoga Allah memberikan manfaat lewat kitab beliau ini kaum muslimin baik para ulama, cendekiawan, masyayikh, penuntut ilmu, para da’i maupun masyarakat umum.

Beliau memulai kitabnya ini dengan menjelaskan macam-macam kufur akbar yang mengeluarkan dari Islam : kufur takdzib, juhud, inad, I’rodh, syak dan nifak. Dan bahwasanya kekufuran itu bisa dari keyakinan, ucapan, maupun amal perbuatan. Beliau juga menyinggung tentang kekufuran menurut Murji’ah yang menyempitkan pada kufur takdzib dalam hati saja. “Beliau juga berkata : (Kitab ini) ditulis dengan metode ilmiah yang kokoh, tidak ada caci maki maupun celaan buruk. Kitab ini amat sepesial dalam pembahasannya. Dan pengarang dalam masalah perincian hukum orang yang tidak berhukum dengan hukum Allah telah sesuai pendapatnya dengan pendapat Samahatul Walid Mufti Mamlakah Saudi Arabia Syaikh Abdul Aziz bin Abdillah bin Baz. [5], Fadhilatusy Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin serta Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Albani”.

Fatwa Lajnah ini pun juga di tentang dan disalahkan oleh Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin seperti yang telah berlalu diatas dan bahwasanya tidak ada yang dapat mengambil manfaat dari fatwa ini melainkan takfiriyin dan tsauriyin. Begitu juga dengan Syaikh Shalih As-Sadlan yang tidak bisa menerima fatwa tersebut. [6]

Syaikh Kholid pun menanggapi fatwa ini dengan menulis sebuah makalah yang berjudul “ Al-Maqoolaat Al-Anbariyah Fi Tahkiimil Qowaaniin Al-Wadh’iyah”, diantaranya beliau mengatakan : “Tidak tersembunyi lagi bagi anda sekalian bahwa mewajibkan, mengharamkan hanyalah hak Allah dan Rasul-Nya sebagaimana yang telah dikatakan oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullahu. Oleh karenanya, saya memohon kepada anda sekalian untuk menjelaskan hujjah-hujjah syar’i mengenai keputusan Lanjah yang terhormat yang melarang dicetaknya kembali kitab (Al-Hukmu) yang telah terbit sejak lima tahun yang lalu…”

Maka disini penulis menasehatkan kepada siapa saja yang telah termakan isu atau syubhat bahwa buku Syaikh Kholid ini berada di atas manhaj Murji’ah agar dia membaca sendiri buku tersebut [7] dan meneliti manakah pemikiran Murji’ah yang dituduhkan itu !!! Demikian pula yang menuduh Syaikh Kholid Murji’ah agar dia membaca karangan Syaikh Kholid yang berjudul Murji’atul Ashr (Murji’ah abad ini). Buktikan apakah beliau Murji’ah atau malah sebaliknya membantah Murji’ah!!!

Jika demikian ini keadaannya, masihkah kita berani menuduh Dakwah Salafiyah sebagai Murji’ah atau Jahmiyah ?!

“Artinya : Dan peliharalah dirimu dari (azab yang terjadi pada) hari yang pada waktu itu kamu semua dikembalikan kepada Allah. Kemudian masing-masing diri diberi balasan yang sempurna terhadap apa yang telah dikerjakannya, sedang mereka sedikitpun tidak dianiaya (dirugikan)” [Al-Baqarah : 281]

“Artinya : Sesungguhnya Tuhanmu benar-benar mengawasi” [Al-Fajr : 14]
Begitu jelasnya bukti-bukti akan jauhnya Syaikh Al-Albani, Syaikh Ali Al-Halabi dan Syaikh Kholid Al-Anbari dari Murji’ah, namun masih ada saja orang yang buta akan hal ini.

Kebenaran bak matahari dan mata-mata ini yang melihatnya
Akan tetapi matahari itu tersembunyi bagi si buta
Kejelekan pemahamanmu membuatmu tuli dari ucapanku
Dan kesesatan membuat dirimu buta dari petunjukku.

Sebagai penutup, simak dan renungkan ucapan berharga dari seorang doktor spesialis kelompok-kelompok sempalan Syaikh Dr Nashir bin Abdul Karim Al-Aql –hafidzahullahu- : “Tidak semua orang dituduh Murji’ah dia benar Murji’ah. Terlebih di zaman ini, karena tukang-tukang pengkafiran dan orang-orang ekstrim dari kalangan Khawarij atau yang seperti mereka yang bodoh akan kaidah-kaidah Salaf tentang vonis, menuduh orang yang menyelisihi mereka dari kalangan ulama maupun penuntut ilmu dengan Murji’ah. Dan kebanyakan yang di gembar-gemborkan mereka adalah masalah berhukum dengan selain hukum Allah dan masalah wala’ serta baro’.

Dan terkadang sebagian yang menisbatkan dirinya kepada ilmu dan sunnah ikut andil dalam menuduh tanpa adanya kehati-hatian. Bahkan sebagian penuntut ilmu yang sudah tinggi keilmuannya ketika menulis masalah takfir pada zaman ini menuduh orang yang menyelisihinya dalam masalah yang juga diperselisihkan oleh Salaf dengan tuduhan Murji’ah. Padahal permasalahannya jika diteliti kembali tidak termasuk prinsip Murji’ah” [7]

[Disunting dari artikel Dakwah Salafiyah Bukan Murji’ah]

[Disain dari majalah Adz-Dzakhiirah Al-Islamiyyah Edisi 21 Th.IV. Rajab 1427H – Agustus 2006M. Penerbit Ma’had Ali Al-Irsyad As-Salafy Surabaya, Alamat Redaksi Jl. Sidotopo Kidul No. 51 Surabaya, Telp. 031-37311969]
___________
Foote Note
[1]. Al-Ajwibah Al-Mutalaaimah ‘Alal Fatwa Lajnah Daimah, hal.4 oleh Syaikh Ali bin Hasan Al-Halabi.
[2]. At-Ta’rif Wat Tanbihat hal.15
[3]. Ar-Roddul Burhani, hal. 256-259
[4]. Muqoddimah Al-Hukmu Bighoiri Maa Anzalallahu, hal. 9
[5]. Syaikh Kholid berkata : “Menceritakan kepadaku orang yang terpercaya bahwa para takfiriyin mencoba untuk membujuk Syaikh Bin Baz agar mencekal kitab tersebut dan mereka berusaha untuk mejelek-jelekannya akan tetapi Syaikh membantah mereka hingga mereka pun gagal. Akan tetapi sepeninggal Syaikh rahimahullahu mereka berhasil (menjalankan makarnya)’
[6]. Al-Hukmu hal.16
[7]. Dan buku ini –Alhamdulillah- telah diterjemahkan dan diterbitkan dalam bahasa Indonesia dengan judul “Kafirkah orang yang berhukum dengan selain Allah?”.
[8]. Al-Qodariyah wal Murji’ah, hal. 121 oleh Dr Nashir Al-Aql

Hukum Penisbatan Diri Kepada Atsar

HUKUM PENISBATAN DIRI KEPADA ATSAR

Oleh
Syaikh Ali bin Hasan bin Abdul Hamid Al-Halabi Al-Atsari

Segala puji bagi Allah dan sholawat serta salam semoga senantiasa terlimpah kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan kepada keluarga, sahabat serta orang-orang yang mengikuti beliau.

Sebagian ikhwan telah bertanya kepadaku –semoga Allah memberi balasan kebaikan kepada mereka- tentang hukum penisbatan diri kepada Sunnah atau Atsar?

Semua itu dikarenakan adanya ucapan dari ahli ilmu yang dipahami melarang akan hal tersebut.

Maka saya katakan –dengan memohon taufik dari Allah-:

Sesungguhnya penisbatan kepada Atsar merupakan penisbatan yang sudah ada sejak zaman dahulu (suatu hal yang telah turun temurun/warisan) diterima oleh kalangan ahli ilmu.

Berkata As-Sam’ani (meninggal tahun 562H) dalam kitabnya Al-Ansab 1/136 : Penisbatan kepada Atsar yaitu hadits dan mencari ilmu hadits serta mengikuti hadits.

Dan bait syair pertama di dalam Al-Alfiyah Al-Haditsiyyah yang telah masyhur oleh Al-Hafidh Al-Iraqi (meninggal tahun 806H), beliau berkata :

Abdurrahim bin Al-Husain Al-Atsari yang mengharap (ampunan) Rabbnya yang Maha Kuasa berkata :

Al-Hafidh As-Sakhowi (meninggal tahun 902H) mensyarah bait atas dalam kitab Fathul Mughits 1/3 dengan perkataan beliau : Penisbatan kepada Atsar, para ulama menisbatkan diri mereka kepadanya dan sebagian mereka yang mengarang kitab dalam bidang tersebut telah menisbatkan kepadanya dengan baik.

Apabila kalian tidak bisa persis seperti mereka, maka samailah mereka, sesungguhnya menyamai orang yang mulia merupakan suatu keberuntungan.

Jika seandainya penisbatan kepada madzhab-madzhab atau profesi atau negara atau gelar-gelar diperbolehkan, maka penisbatan kepada Sunnah dan hadits serta Atsar lebih utama untuk diterima.

Syaikh kami Al-Albani rahimahullahu menyindir sebagian penuntut ilmu, yang menyelisihi Sunnah dan mengubah manhaj ahli sunnah, namun disisi lain salah seorang dari mereka menggelari dirinya dengan Atsari. Sedangkan dia dari Atsar dan Sunnah berjauhan. Maka penisbatan itu batil, menyelisihi hakekat sebenarnya. Syaikh rahimahullah membantah terhadap sebagian para penulis muda yang menyelisihi sunnah dan kebenaran, namun dirinya menisbatkan kepada Atsar dalam rangka ikut-ikutan dan untuk menipu (orang awam). Beliau berkata : “Al-Atsari adalah mode zaman ini”.

Pengingkaran syaikh kami adalah benar, pengingkaran tersebut ditujukan kepada yang menisbatkan (orangnya), bukan terhadap apa yang dinisbatkan, karena beliau berkata setelah itu untuk membantah orang yang menisbatkan kepada Atsar tersebut, dan untuk menyingkap hakekat sesungguhnya : “Ketika ia mengira barangsiapa yang tidak mengikuti perkatannya… bahwa dia seorang salafi atsari seratus persen, padahal sesungguhnya ia seorang kholafi mu’tazili (lawan salafi) dari para pengekor hawa nafsu”

Beliau membolehkan penisbatan tersebut, seperti orang-orang sebelum beliau dan para imam dan ulama.

Apa yang dinisbarkan kepada salaf (salafi) pada dasarnya sama dengan apa yang dinisbatkan kepada atsar (atsari), keduanya sama.

Yang semisal dengan hal diatas adalah pembedaan antara para dai yang sebenarnya dan orang-orang yang hanya mengaku, Al-Allamah Asy-Syaikh Abdul Aziz bin Baaz rahimahullahu ketika ditanya tentang penamaan As-Salafi, Al-Atsari, apakah ini termasuk tazkiyah/rekomendasi?

Maka Samahatusy Syaikh rahimahullah menjawab :
“Apabila benar adanya bahwa dia Atsari atau Salafi maka tidak masalah, seperti yang diucapkan oleh ulama terdahulu, fulan Salafi, fulan Atsari, ini merupakan rekomendasi yang diharuskan dan wajib”.

Adapun yang dinukil oleh sebagian saudara kita yang difahami darinya bahwa ada yang menyelisihi dalam hal ini, dan ini dinukil dari Fadhilatusy Syaikh Shalih Al-Fauzan –semoga Allah memberi kita manfaat darinya-, maka yang benar dalam hal ini –insya Allah- apa yang disebutkan oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullahu dalam Majmu Fatawa 4/149 beliau berkata :

“Bukan suatu aib bagi seorang yang menampakkan madzhab salaf dan menisbatkan dirinya kepada salaf serta bangga dengan salaf, bahkan wajib menerima hal ini sesuai dengan kesepakatan (para ulama), karena madzhab salaf tidaklah kecuali benar”.

Jika penisbatan tersebut selaras antara dhohir dan batinnya maka hal ini setara dengan kedudukan seorang mukmin yang berada diatas kebenaran secara dhohir dan bathin.

Namun jika dhohirnya saja tanpa bathinnya, maka hal ini kedudukannya sama dengan munafiq, maka kita terima apa yang nampak dari hal tersebut dan kita serahkan yang tidak tampak kepada Allah, karena kita tidak diperintahkan untuk menghukumi apa yang ada di hati manusia.

Ini sesuai dengan perkataan para imam dan ulama antara satu dengan lainnya dan menyelisihi perkataan selain mereka, dari orang-orang yang tidak faham perkataan para imam dan ulama, maka renungkanlah.

Untuk mendapatkan faidah lebih lanjut akan hal ini lihatlah Al-Lubab 1/28 oleh Ibnu Atsir, Siyar A’lam An-Nubala 18/510, 1/475 oleh Adz-Dzahabi, Taudhilul Musytabah 1/122 oleh Ibnu Nashiruddin Ad-Damasyqi, Lawami’ul Al-Anwar Al-Bahiyyah 1/64 oleh As-Safarini dan selainnya.

Persusuan Nabi Shallallahu Alaihi Wa Sallam Dan Peristiwa Pembelahan Dada

PERSUSUAN NABI SHALLALLAHU ALAIHI WA SALLAM DAN PERISTIWA PEMBELAHAN DADA

Setelah Aminah melahirkan bayinya dan diberi nama Muhammad oleh kakeknya di depan Ka’bah, kemudian ia menyusuinya selama beberapa hari. Ibunyalah yang menyusui Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam pertama kali. Mengenai lama beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam menyusu pada ibunya, ada yang mengatakan tiga, tujuh dan ada yang mengatakan sembilan hari.

TSUWAIBAH
Setelah itu beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam disusui oleh budak Abu Lahab yang sudah dibebaskan. Dia bernama Tsuwaibah. Wanita ini juga menyusui pamannya, yaitu Hamzah dan menyusui anak bibi Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang bernama Abu Salamah al Mahzumi, sehingga mereka menjadi saudara sepersusuan. Sebagaimana dikisahkan dalam sebuah hadits, dari Zainab binti Abu Salamah :

أَنَّ أُمَّ حَبِيبَةَ زَوْجَ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَتْ قُلْتُ يَا رَسُولَ اللَّهِ انْكِحْ أُخْتِي بِنْتَ أَبِي سُفْيَانَ ( ولمسلم : عِزَّةَ بِنْتَ أَبِي سُفْيَانَ) قَالَ أَوَتُحِبِّينَ ذَلِكِ قُلْتُ نَعَمْ لَسْتُ لَكَ بِمُخْلِيَةٍ وَأَحَبُّ مَنْ شَارَكَنِي فِي خَيْرٍ أُخْتِي فَقَالَ إِنَّ ذَلِكِ لَا يَحِلُّ لِي فَقُلْتُ إِنَّا نُحَدَّثُ أَنَّكَ تُرِيدُ أَنْ تَنْكِحَ بِنْتَ أَبِي سَلَمَةَ (وفي رواية : دُرَّةَ بِنْتَ أَبِي سَلَمَةَ) فَقَالَ بِنْتَ أُمِّ سَلَمَةَ فَقُلْتُ نَعَمْ
قَالَ لَوْ لَمْ تَكُنْ رَبِيبَتِي فِي حَجْرِي مَا حَلَّتْ لِي إِنَّهَا بِنْتُ أَخِي مِنْ الرَّضَاعَةِ أَرْضَعَتْنِي وَأَبَا سَلَمَةَ ثُوَيْبَةُ فَلَا تَعْرِضْنَ عَلَيَّ بَنَاتِكُنَّ وَلَا أَخَوَاتِكُنَّ

“Sesungguhnya Ummu Habibah istri Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah mengatakan kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam : “Wahai, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Nikahilah saudariku putri Abu Sufyan (dalam riwayat Imam Muslim: ‘Izzah binti Abu Sufyan)”. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bertanya,”Apakah engkau menginginkan itu?” Aku (Ummu Habibah) menjawab,”Ya. Aku tidak pernah menjadi istrimu seorang diri, dan orang yang paling aku sukai menemaniku dalam kebaikan adalah saudariku.” Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,”Itu tidak halal bagiku.” Ummu Habibah berkata,”Sesungguhnya kami diberitahu, bahwa engkau ingin menikahi anak Abu Salamah (dalam riwayat lain : Durrah binti Abu Salamah).” Rasulullah bertanya,”Putri Abu Salamah?” Aku (Ummu Habibah) menjawab,”Ya.”
Lalu Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Seandainya dia bukan anak asuhku, dia tetap tidak halal bagiku. Dia itu putri dari saudara sepersusuanku. Aku dan Abu Salamah pernah disusui oleh Tsuwaibah, maka jangankanlah kalian menawarkan anak-anak atau saudari-saudari kalian kepadaku”. [HR Imam Bukhari dan Muslim].[1]

Kemudian Imam Bukhari membawakan perkataan ‘Urwah, bahwa Tsuwaibah adalah budak milik Abu Lahab yang telah dibebaskan dan menyusui Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Tsuwaibah menyusui Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam selama beberapa hari, hingga kemudian datang Halimah as Sa’diyah, seorang wanita yang menyusui Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam berikutnya.

HALIMAH AS-SA’DIYAH.
Diantara kebiasaan para pemuka bangsa Arab yaitu mencarikan ibu susuan dari pedesaan bagi anak-anak mereka. Tujuannya agar badan anak-anak mereka lebih sehat dan kuat. Karena memandang pengasuh atau ibu susuan yang berada di daerah perkotaan memiliki fisik yang lemah. Disamping itu, agar anak-anak mereka memiliki kemampuan berbahasa yang baik. Oleh karenanya mereka mengirimkan bayi-bayi mereka ke pedesaan sampai usia delapan, kadang sepuluh tahun.Sebaliknya, orang-orang pedesaan itu sengaja pergi ke kota mencari bayi para pemuka Arab untuk disusui, dengan harapan agar namanya ikut terangkat.

Halimah binti Abu Dzuaib adalah wanita berikutnya yang ditakdirkan Allah Azza wa Jalla untuk menyusui Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Dia berasal dari kabilah Sa’diyah. Salah satu kabilah yang terkenal dengan wanita-wanita tukang menyusui, serta terkenal memiliki kemampuan berbahasa yang baik. Oleh karenanya, ketika Abu Bakr Radhiyallahu ‘anhu mengomentari bahasa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang fasih, ia berkata :

مَارَأَيْتُ مَنْ هُوَ أَفْصَحُ مِنْكَ يَارَسُوْلَ الله

“Aku tidak pernah melihat orang yang lebih fasih bahasanya dibandingkan engkau, wahai Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab :

مَا يَمْنَعُنْي وَأَنَا مِنْ قُرَيْشٍ وَأُرْضِعْتُ فِي بَنِي سَعْدٍ

“Kenapa tidak? Aku dari suku Quraisy, dan aku disusui di Bani Sa’d”. [2]

Selama Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam disusui oleh Halimah binti Abu Dzuaib as Sa’diyah, banyak kisah-kisah keajaiban yang masyhur dibawakan oleh para ahli sejarah. Namun, kisah tentang Halimah yang panjang, mulai dari proses pencarian bayi susuan sampai barakah-barakah yang muncul di kemudian hari, menurut para ulama ahli hadits, kisah-kisah tersebut dinilai tidak shahih karena sebab sanadnya.[3]

Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam tinggal bersama mereka selama empat tahun, sampai terjadi sebuah peristiwa yang membuat ibu asuhnya Halimah as Sa’diyah merasa cemas dan menghawatirkan anak asuhnya. Peristiwa pembelahan dada beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang dilakukan oleh Malaikat membuat ibu asuhnya cemas, sehingga ia segera mengembalikan kepengasuhan Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada ibunda Aminah.

PERISTIWA PEMBELAHAN DADA.
Peristiwa pembelahan dada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, penyuciannya terjadi sebanyak dua kali, tetapi ada juga yang mengatakan tiga kali. Namun peristiwa pembelahan dada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam (yang kedua), yaitu menjelang penobatan beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagai nabi terjadi dalam mimpi, sebagaimana dua riwayat yang dibawakan oleh Imam Suyuthi rahimahullah.[4]

Peristiwa pertama terjadi ketika beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam berusia empat atau lebih, yaitu ketika beliau sedang menggembala di lembah Bani Sa’d. Dalam sebuah hadits riwayat Imam Muslim dari Anas bin Malik Radhiyallahu ‘anhu diceritakan :

أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَتَاهُ جِبْرِيلُ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَهُوَ يَلْعَبُ مَعَ الْغِلْمَانِ فَأَخَذَهُ فَصَرَعَهُ فَشَقَّ عَنْ قَلْبِهِ فَاسْتَخْرَجَ الْقَلْبَ فَاسْتَخْرَجَ مِنْهُ عَلَقَةً فَقَالَ هَذَا حَظُّ الشَّيْطَانِ مِنْكَ ثُمَّ غَسَلَهُ فِي طَسْتٍ مِنْ ذَهَبٍ بِمَاءِ زَمْزَمَ ثُمَّ لَأَمَهُ ثُمَّ أَعَادَهُ فِي مَكَانِهِ وَجَاءَ الْغِلْمَانُ يَسْعَوْنَ إِلَى أُمِّهِ يَعْنِي ظِئْرَهُ فَقَالُوا إِنَّ مُحَمَّدًا قَدْ قُتِلَ فَاسْتَقْبَلُوهُ وَهُوَ مُنْتَقِعُ اللَّوْنِ
قَالَ أَنَسٌ وَقَدْ كُنْتُ أَرْئِي أَثَرَ ذَلِكَ الْمِخْيَطِ فِي صَدْرِهِ

“Bahwasanya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam didatangi Malaikat Jibril Alaihissallam ketika beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam sedang bermain dengan beberapa anak [5]. Jibril kemudian menangkapnya, menelentangkannya, lalu Jibril membelah dada. Jibril mengeluarkan hatinya, dan mengeluarkan dari hati beliau n segumpal darah beku sambil mengatakan “Ini adalah bagian setan darimu”. Jibril kemudian mencucinya dalam wadah yang terbuat dari emas dengan air zam-zam, lalu ditumpuk, kemudian dikembalikan ke tempatnya. Sementara teman-temannya menjumpai ibunya (maksudnya orang yang menyusuinya) dengan berlari-lari sembari mengatakan: “Sesungguhnya Muhammad telah dibunuh”. Kemudian mereka bersama-bersama menjumpainya, sedangkan dia dalam keadaan berubah rona kulitnya (pucat).
Anas mengatakan: “Saya pernah diperlihatkan bekas jahitan di dadanya”.

Setelah membawakan hadits ini, penyusun kitab As Siratun Nabawiyatush Shahihah mengatakan: “Tidak diragukan lagi, bahwa pembersihan hati dari bagian setan merupakan persiapan dini untuk kenabian, dan persiapan untuk bebas dari segala kejahatan dan peribadatan kepada selain Allah Azza wa Jalla. Maka tidak ada yang bersemayam di hatinya, kecuali tauhid. Peristiwa-peristiwa masa kecilnya menunjukkan, bahwa semua itu telah terbukti. Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak pernah melakukan dosa, serta tidak pernah sujud kepada berhala, meskipun hal itu sudah merata di tengah kaum beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam”

Demikianlah, peristiwa pembelahan dada beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang pertama, terjadi di Bani Sa’d ketika Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam berusia empat tahun atau lebih. Kemudian peristwa ini terulang lagi pada malam Isra’ dan Mi’raj.

Peristiwa pembelahan dada ini, membuat Halimah merasa sangat khawatir atas keselamatan Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Oleh sebab itu, Halimah segera menyerahkan kembali Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam ke pangkuan ibunda Aminah dan kakeknya Abdul Muththalib, meskipun sebenarnya Halimah sangat menyukainya.

[Disalin dari Majalah As-Sunnah Edisi 09/Tahun IX/1426H/2005M. Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Alamat Jl. Solo-Puwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183, Telp. 0271-761016]
________
Footnote
[1]. Lihat Shahihus Siratin Nabawiyah, karya Syaikh Al Albani, hlm. 15.
[2]. Lihat As Siratun Nabawiyatu fi Dhauil Kitab was Sunnati, karya Muhammad bin Muhammad Abu Syuhbah, hlm. 192.
[3]. Lihat As Siratun Nabawiyatush Shahihah, karya Dr. Akram Dhiya’ Al Umari (I/103).
[4]. Ibid.
[5]. Dalam riwayat Ibnu Ishaq, Rasulullah n menceritakan: “Ketika aku dan saudaraku menggembala ternak di belakang rumah, tiba-tiba aku didatangi oleh dua orang …”. (Lihat Shahihus Siratin Nabawiyah, hlm. 16).

Kapan Awal Mula Kuburan Rasulullah Dimasukkan Kedalam Kawasan Masjid Nabawi

KAPAN AWAL MULA KUBURAN RASULULLAH DIMASUKKAN KEDALAM KAWASAN MASJID NABAWI

Oleh
Syaikh Abu Abdurrahman Muqbil bin Hadi Al-Wadi’i

Al-Hafizh Ibnu Katsir berkata dalam Al-Bidayah wan Nihayah (9/73) sehubungan peristiwa tahun 88H : “Ibnu Jarir[1] menyebutkan bahwa pada bulan Rabi’ul Awwal dari tahun tersebut, datang surat Al-Walid (yang menjabat Khalifah saat itu) kepada Umar bin Abdul Aziz (sebagai gubernur Madinah) yang isinya memerintahkan beliau agar masjid Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam direhab dan direnovasi, dan ruangan-ruangan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam ditambah dan diperluas dari sisi Kiblat atau depan masjid, serta seluruh sisi-sisinya, sehingga ukurannya menjadi dua ratus meter persegi nantinya. Siapa yang menjual tanah atau bangunan miliknya kepada anda hendaklah dibeli, karena jika tidak maka dihargai dengan harga yang seadil-adilnya, lalu dirubuhkan dan dibayarkan kepada mereka harga bangunan atau rumahnya tersebut. Sesungguhnya anda dalam masalah ini memiliki landasan, yaitu seperti yang pernah dilakukan para pendahulu anda, yaitu Umar dan Utsman.

Lalu Umar bin Abdul Aziz mengumpulkan orang-orangnya, para fuqaha yang sepuluh dan masyarakat Madinah, lalu beliau membacakan surat Amirul Mukminin tersebut. Akan tetapi mereka merasa berat melaksanakannya, mereka berkata : “Ruangan-ruangan ini atapnya pendek dan terbuat dari pelepah kurma, dindingnya dari batu bata dan pintunya terdapat permadani dari bulu yang kasar. Jadi membiarkan masjid dalam bentuk seperti ini lebih baik. Orang-orang yang menunaikan haji, para musafir dan peziarah dapat menyaksikan serta melihat-lihat rumah-rumah Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, sehingga merekapun bisa mengambil manfaat dan pelajaran darinya, semua ini lebih mengajak untuk zuhud di dunia. Mereka tidak merehabnya kecuali sebatas yang mereka butuhkan, yaitu sekedar melindungi mereka dari terik dan panas. Serta agar mereka mengetahui bahwa bangunan yang tinggi merupakan pekerjaan raja-raja Fir’aun dan kekaisaran Persia. Semua yang panjang angan-angan akan menginginkan dunia dan berharap kekal di dalamnya”.

Seketika itu, maka Umar bin Abdul Aziz mengirim surat balasan kepada Al-Walid yang isinya menjelaskan kesekapakan para fuqaha yang sepuluh tersebut. Tetapi Al-Walid megirim utusan yang memerintahkan beliau untuk merombak dan membangun kembali masjid seperti yang diinginkan sebelumnya serta atap-atapnya ditinggikan, maka mau tidak mau, Umar bin Abdul Aziz merombaknya. Ketika mereka memulai perombakan, para tokoh dan pemuka masyarakat Bani Hasyim dan yang lainnya berteriak, mereka menangis seperti hari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam wafat, dan para pemilik bangunan di sekitar masjidpun menjual bangunannya. Pekerjaan akhirnya dimulai dengan cepat dan sungguh-sungguh, serta menyingsingkan lengan dan baju dengan dibantu banyak pekerja yang dikirim Al-Walid. Maka kamar Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam masuk di dalamnya, kamar Aisyah Radhiyallahu ‘anha, termasuk kuburan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam akhirnya masuk dalam kawasan masjid. Ukuran akhirnya dari timur sampai kamar-kamar isteri Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam seperti diperintahkan Al-Walid.

Diriwayatkan, ketika mereka menggali dinding pembatas sebelah timur dari kamar Aisyah Radhiyallahu ‘anha, tiba-tiba muncul sebuah kaki. Mereka pun khawatir jangan-jangan itu kaki Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, hingga akhirnya mereka yakin kalau itu kaki Umar bin Khaththab Radhiyallahu ‘anhu.

Diceritakan bahwa Sa’id Al-Musayyib tidak mau menerima jika kamar Aisyah Radhiyallahu ‘anha dimasukkan ke dalam masjid, seakan beliau khawatir jika makam dijadikan masjid.

Sampai di sini kutipan dari Al-Bidayah wan Nihayah.

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullahu berkata dalah kitab Al-Jawabul Bahir (hal.71) : “Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dikuburkan di kamar Aisyah Radhiyallahu ‘anha, dan kamar tersebut serta kamar-kamar isteri-isteri Rasulullah yang lain berada di sisi timur masjid, kiblat dahulunya tidak masuk dalam kawasan masjid, bahkan berada di luar antara kamar dan masjid. Akan tetapi pada pemerintahan Al-Walid, masjid Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam diperluas, Al-Walid gemar merenovasi dan membangun masjid. Beliau memperluas Masjidil Haram, Masjid Damasyqus dan yang lainnya. Beliau memerintahkan wakilnya di Madinah (Umar bin Abdul Aziz) membeli rumah-rumah dari pemiliknya, yang sebelumnya mewarisinya dari isteri-isteri Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, lalu menambahkannya ke dalam masjid. Sejak itu rumah-rumah tersebut masuk dalam kawasan masjid. Hal tersebut terjadi setelah beberapa sahabat wafat ; setelah wafatnya Ibnu Umar, Ibnu Abbas, Abu Sa’id Al-Khudri serta Aisyah, bahkan setelah wafatnya mayoritas para sahabat dan tidak tersisa satupun dari mereka di Madinah saat itu.

Diriwayatkan bahwa Sa’id bin Al-Musayyib mengingkari hal ini, juga umumnya sahabat dan tabiin mengingkari apa yang dilakukan Utsman bin Affan Radhiyallahu ‘anhu ketika beliau membangun masjid Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan batu dan kayu jati, begitu pula ketika Al-Walid melakukan hal yang sama. Adapun Umar bin Al-Khaththab Radhiyallahu ‘anhu, beliau memperluasnya tetapi dengan batu bata (seperti saat Rasulullah membangunnya) tiang-tiangnya dari batang kurma, dan atapnya dari pelepah kurma. Tidak diriwayatkan bahwa ada seorang sahabat yang mengingkari kebijakan Umar bin Al-Khaththab Radhiyallahu ‘anhu, yang ada adalah ketika Utsman Radhiyallahu ‘anhu melaksanakan kebijakan beliau tersebut, maka terjadi perselisihan pendapat di kalangan para sahabat”.

Beliau rahimahullahu melanjutkan : “Adalah Al-Walid bin Abdul Mulk menjabat khalifah setelah wafatnya ayah beliau (Abdul Mulk) pada tahun delapan puluhan hijriyah, ketika para sahabat (di Madinah) tersebut sudah meninggal seluruhnya. Juga sebagian besar sahabat di seluruh kawasan dan penjuru sudah meninggal, dan sedikit sekali yang masih hidup seperti Anas bin Malik Radhiyallahu ‘anhu di Bashrah, beliau Radhiyallahu ‘anhu meninggal di zaman kekhalifahan Al-Walid, pada tahun sembilan puluhan hijriyah. Begitu pula Jabir bin Abdullah Radhiyallahu ‘anhu yang meninggal pada tahun 78H di Madinah, dan beliau sahabat yang paling akhir meninggal di Madinah. Adapun Al-Walid, beliau memasukkan rumah Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam jauh setelah itu, sekitar sepuluh tahun, dan pembangunan masjid dilakukannya setelah Jabir Radhiyallahu ‘anhu wafat, hingga tidak ada satupun dari para sahabat yang masih hidup di Madinah saat itu”.

Beliau rahimahullahu menyinggung pula masalah ini dalam kitab yang lain Ar-Raddu ‘Alal Ikhna’i (hal. 119) dan Iqtidha’ush Shiraathal Mustaqim (hal. 367). Demikian yang disebutkan oleh para ahli sejarah seperti dalam Umdatul Al-Akhbar (hal.108), Tahqiqun Nushrah bi Talkhishi Ma’alimi Daril Hijrah oleh Al-Maraghi (hal. 49) dan Wafa’ul Wafa (jilid pertama hal, 513) oleh As-Samhudi.

Dengan demikian, jelas bagi kita bahwa Al-Walid rahimahullahu telah salah ketika beliau memasukkan kamar-kamar ini ke dalam masjid Nabawi. Beliau telah melanggar larangan Rasulullah yaitu menjadikan makam sebagai masjid dan shalat menghadapnya, karena siapa yang shalat di tempat yang sebelumnya diperuntukkan bagi para sahabat Ahlush Shuffah pasti menghadap ke makam, sebagaimana yang kita saksikan. Begitu pula para wanita, mereka dalah shalatnya di masjid Nabawi menghadap ke kuburan. Wajib bagi kaum muslimin untuk mengembalikannya seperti semula (berada di sisi timur) sebagaimana di zaman Rasulullah, karena sesungguhnya sebaik-baik petunjuk adalah petunjuk Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam.

[Disalin dari kitab edisi Indonesia Bantahan terhadap Musuh Sunnah, Penulis Syaikh Abu Abdurrahman Muqbil bin Hadi Al-Wadi’i, Penerjemah Munawwir A Djasari, Penerbit Pustaka Azzam, Pebruari 2003]
__________
Foote Note
[1]. (8/65) dari Tarikh beliau

Kapan Awal Mula Kubah Di Atas Kuburan Rasulullah Shallallahu Alaihi Wa Sallam Di Bangun

KAPAN AWAL MULA KUBAH DI ATAS KUBURAN RASULULLAH SHALALLAHU ALAIHI WA SALLAM DI BANGUN

Oleh
Syaikh Abu Abdurrahman Muqbil bin Hadi Al-Wadi’i

Asy-Syaikh Ahmad bin Abdul Hamid Al-Abbasi rahimahullahu, yang wafat pada abad kesepuluh hijriyah, berkata dalam kitab beliau ‘Umdatul Al-Akhbar Fi Madinaatil Mukhtar (hal.124) : “Pada tahun 678H, Sultan Raja Al-Manshur Qalawun ash-Shalihi, ayah dari sultan Raja An-Nashir Muhammad bin Qalawun, memerintahkan agar kubah dibangun diatas kamar yang mulia tersebut, tepatnya di atas atap masjid. Dibangun dengan batu bata merah setinggi setengah badan, agar bisa dibedakan antara atap kamar yang mulia ini dan atap masjid di sekitarnya yang juga dibangun dengan batu bata merah, maka diselesaikanlah kubah ini seperti yang terlihat sekarang ini …. dst. Sampai akhir perkataan beliau rahimahullahu.

Zainuddin Al-Maraghi, yang wafat pada tahun 810H, berkata dalam kitab beliau Tahqiqun Nushrah bi Talkhishi Ma’alami Daril Hiijrah (hal. 81): “Ketahuilah, tidak ada kubah yang dibangun di atas kamar baik sebelum dan sesudah masjid Nabawi terbakar, bahkan tidak ada di sekitar kamar Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam berupa atap setinggi setengah badan yang dibangun dengan batu bata merah untuk membedakan antara kamar Nabi Shalallahu ‘alaihi wa sallam dengan atap di sekitarnya, hingga kemudian dibangun pada tahun 678H di zaman pemerintahan Al-Manshur Qalawun Ash-Shalihi…. dst”. Sampai akhir perkataan beliau rahimahullahu.

Senada dengan di atas, adalah yang diungkapkan oleh As-Samhudi, yang wafat pada tahun 911H, dalam kitab beliau Wafa’ul Wafa (2/609)

PENGINGKARAN ULAMA TERHADAP BANGUNAN KUBAH
Tidak diragukan lagi bahwa para ulama –semoga Allah Subhanahu wa Ta’ala merahmati mereka- mengingkari apa-apa yang diharamkan oleh syariat agama. Sebagian mereka menegaskan pengingkaran ini, dan sebagian lagi memilih jalan diam karena mereka menyadari tidak ada gunanya berdebat dan memperpanjang masalah. Atau bisa jadi mereka ingin bersikap ramah dengan jalan diam ini berdasarkan sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada Aisyah Radhiyallahu ‘anha : “Seandainya bukan karena kaummu yang baru saja terlepas dari kekafiran, niscaya aku akan mendirikan rumah di atas pondasi-pondasi (yang dibangun) Ibrahim (sebelumnya)”.

Sudah diketahui sebelumnya bahwa mereka yang mengingkari hal ini telah melaksanakan kewajiban yang diperintahkan Allah Subhanahu wa Ta’ala, yaitu dengan memberikan nasihat demi Islam dan kaum muslimin sendiri. Berikut ini di antara mereka yang mengingkarinya, sebagai berikut.

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullahu berkata dalam kitab beliau Iqtidha’ush Shirathil Mustaqim : ‘Karena itu, ketika kamar Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dibangun di zaman tabi’in –demi ayah dan ibu Rasulullah- mereka pun membiarkan atapnya berlubang, dan sampai sekarang masih seperti itu. Diletakkan diatasnya lilin dan di ujungnya ada batu sebagai penyanggahnya, sedang langit tampak dari bawah. Itu dibangun setelah masjid Nabawi dan mimbarnya terbakar di tahun enam ratus lima puluhan hijriyah, di mana api muncul di wilayah Hijaz yang disebabkan sekawanan unta di Bushra, lalu datanglah serangan pasukan Tartar di Baghdad dan wilayah-wilayah lainnya. Setelah itu masjid Nabawi berserta atapnya dibangun kembali seperti semula, tetapi di seklitar kamar Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dibangun dinding dari kayu. Kemudian selang beberapa tahun dibangunlah kubah di atas atap tersebut, namun pembangunan ini ditentang oleh orang-orang yang mengingkarinya”.

Ash-Shan’ani rahimahullahu berkata dalam Tathhirul I’tiqad : “Jika anda mengatakan bahwa kuburan Rasulullah ini saja telah dibangun kubah yang besar di atasnya dengan dukungan dan dan harta, maka aku berkata : “Inilah kebodohan besar akan hakikat peristiwa sebenarnya, karena kubah ini bukan dibangun oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, bukan pula para sahabatnya ataupun tabi’in ataupun tabi’it tabi’in, bahkan para ulama dan pemimpin agama. Akan tetapi ia merupakan bangunan penguasa Mesir belakangan, yaitu Qalawun Ash-Shalihi yang lebih dikenal dengan Raja Al-Manshur pada tahun 678H. Jadi, masalah ini sifatnya politis, bukan dalil yang dapat dijadikan pegangan”.

Asy-Syaikh Husein bin Mahdi An-Na’ami, dalam kitab beliau Ma’arijul Al-Bab, mengemukakan pernyataan sebagian mufti yang berhujjah dengan kubah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Atas dibolehkannya membangun kubah di atas kuburan, maka sang mufti berkata, “Sudah diketahui sebelumnya bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam memiliki kubah, begitu pula para pemimpin Madinah serta negeri-negeri yang lainnya. Kubah tersebut diziarahi setiap waktu dan diyakini mendatangkan berkah” Oleh karena itu, Syaikh Husein rahimahullhu berkata : Aku menyatakan, jika memang demikian adanya, maka bagaimana dengan peringatan Rasulullah Shallalahu ‘alaihi wa sallam dimana beliau mengingatkan serta menyatakan bebasnya diri beliau?! Lalu kalian nyata-nyata mengerjakana apa yang dilarang oleh Rasulullah, apakah ini tidak cukup bagi kalian sebagai pelanggaran terhadap perintah Rasulullah, dan sikap perlawanan atas diri Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam?! Apakah Rasulullah pernah menganjurkan hal seperti ini, sekalipun dengan isyarat, atau beliau ridha atau beliau tidak melarangnya?! Adapun keyakinan kalian akan turunnya berkah, maka itu menurut kalian dan bukan dari Allah Subhanahu wa Ta’ala! Jadi perihal berkah ini sebagai bantahan terhadap kalian”.

Demikianlah, dan saudara-saudara kita –semoga Allah Subhanahu wa Ta’ala merahmati mereka- pernah bertekad untuk merubuhkan kubah ini ketika mereka datang ke Madinah saat Raja Abdul Aziz rahimahullahu memerintah. Mereka hamper sala melakukannya, sekiranya mereka tidak khawatir kalau-kalau terjadi fitnah yang lebih besar dari para quburiyyun dibanding merubuhkan kubah tersebut, yang pada akhirnya menyebabkan kemungkaran yang lebih dahsyat. Lalau berapa banyak dakwaan-dakwaan batil yang akan dilontarkan oleh para quburiyyun sekiranay diserukan penghancuran kubah-kubah tersebut, yang sebagiannya sudah menyerupai sembahan Lata, Uzza dan Hubal.