Fatwa Tentang Bapak Membunuh Anaknya

FATWA TENTANG BAPAK MEMBUNUH ANAKNYA

Oleh
Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Albani

Orang-orang yang senantiasa mengikuti berita-berita surat kabar pasti telah mengetahui kisah tentang seorang bapak berkebangsaan Mesir yang telah membunuh dua orang anaknya yang masih kecil dengan cara menenggelamkannya di dalam laut. Persitiwa ini tepatnya terjadi di Iskandariyah.

Lalu pengadilan urusan pidana di negeri itu memutuskan hukuman mati bagi bapak tersebut berdasarkan materi undang-undang umum. Akan tetapi ketika pengadilan meminta pendapat mengenai keputusan ini dari seorang mufti di Iskandariyah yang bernama Syaikh Ahmad bin Yusuf, maka sang mufti menolak keputusan itu, lalu beliau memberikan fatwa yang teksnya sebagai berikut :

”…Hukum qishah tidak wajib ditegakkan kepada sang bapak, karena seorang bapak tidak boleh dihukum mati sebagai pembunuh anaknya. Bapak adalah penyebab keberadaan anak dalam kehidupan ini, maka tidak boleh anak itu menjadi sebab kebinasaan sang bapak”

Kemudian mufti tersebut menuturkan nash-nash madzhab Hanafi seraya memperkuat madzhabnya dengan sabda Nabi Shahallallahu ‘alaihi wa sallam.

لاَ يُقَادُ الْوَ الِدُ بِوَ لَدِهِ

“Bapak tidak dijatuhi human mati (bunuh) sebab membunuh anaknya’.

Meskipun alasan (hujjah) tersebut demikian jelas, namun pengadilan tetap menjatuhkan keputusannya tanpa menerima hukum yang ditetapkan dalam hadits. Tetapi hal ini tidak aneh, sebab pengadilan itu menetapkan hukum berdasarkan perundang-undangan dan bukan berdasarkan hukum Allah dan Rasul-Nya.

Hanya saja, yang sangat janggal jika sebagian Syaikh berusaha untuk membenarkan keputusan tersebut. Surat kabar Al Ahram Mesir tanggal 7/10/1954M telah meliput secara lengkap peristiwa ini serta keputusan pengadilan dan fatwa dari sang mufti, kemudian diiringi dengan pendapat dan pandangan para pakar hukum dan undang-undang. Di antara yang dimuat di surat kabar tersebut adalah pendapat Syaikh Hasan Ma’mun, sebagai salah seorang pakar terkemuka dibidang syar’i. Adapun diantara teks perkataannya itu adalah sebagai berikut “… Pengadilan urusan pidana dituntut untuk menerapkan undang-undang yang ada dan tidak dituntut untuk menerapkan nash-nash syariat Islam”.

Di antaranya pula apa yang dikutip oleh surat kabar tersebut dari Syaikh Muhamamd Syaltut sehubungan dengan tanggapan beliau mengenai fatwa itu, “ Saya secara pribadi meguatkan madzhab orang-orang yang mewajibkan qishah dalam kondisi seperti ini, yang demikian itu adalah sebagai pengamalan akan keumuman ayat (tentang qishah,-penerj). Adapun hadits yang berhubungan dengan persoalan ini, yaitu, ‘Bapak tidak dijatuhi hukuman bunuh sebab membunuh anaknya” merupakan hadits yang tidak memiliki dasar yang kuat (tidak tsabit) dimana sebagian ahli hadits telah meragukan keakuratnnya”.

Saya katakan (Syaikh Albani) : “Pada kesempatan ini saya tidak ingin berbicara tentang keburukan tindak kriminal tersebut, bukan pula bermaksud menjelaskan pembicaraan yang dinukil dari Syaikh Hasan mengenai tindak kriminal terhadap syariat Islam. Akan tetapi yang menjadi tujuan pembicaraan saya adalah menjelaskan kesalahan yang dilakukan oleh syaikh Syaltut dalam melemahkan hadits tersebut, serta sikapnya yang lebih mendukung keputusan pengadilan dari pada fatwa sang Mufti.

Yang saya yakini, sesungguhnya Syaikh Syaltut tidak menempuh metode ilmiah dalam mengambil kesimpulan tentang lemahnya hadits tersebut. Bahkan beliau lebih memilih untuk mengamalkan dalil yang bersifat umum seperti yang diisyaratkannya dalam tanggapan terebut. Ketika tampak olehnya pertentangan pendapatnya itu dengan hadits ini, maka ia pun mencari jalan keluar dengan cara bertaqlid kepada sebagian ahli hadits yang melemahkan hadits tersebut.

[Disalin secara ringkas dari kitab Maqalat Albani, Penulis Muhamammad Nashiruddin Albani, Edisi Indonesia Risalah Ilmiah Albani hal. 97-99, Penerjemah Abu Musyrifah dan Umu Afifah, Penerbit Pustaka Azzam – Jakarta, Cetakan Pertama April 2002

Tinggalkan komentar