Kembalinya Pemberi Fatwa Kepada Yang Benar, Peminta Fatwa Tidak Dipersalahkan Sehingga Jelas

KEMBALINYA PEMBERI FATWA KEPADA YANG BENAR

Oleh
Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz

Pertanyaan
Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz ditanya : Jika seseorang ditanya tentang sesuatu, lalu ia memberi fatwa mengenai hal tersebut, lalu setelah beberapa waktu tampak baginya bahwa yang telah difatwakannya itu tidak benar, apa yang harus diperbuatnya?

Jawaban
Hendaknya ia kembali kepada yang benar dan memberi fatwa dengan kebenaran serta mengatakan bahwa ia telah salah. Hal ini sebagaimana yang dikatakan Umar, “Kebenaran itu telah pasti.” Dari itu, hendaknya ia kembali kepada yang benar dan memberi fatwa yang benar serta mengatakan, “Saya telah salah dalam masalah terdahulu, saya menfatwakan begini dan begini, lalu ternyata hal itu salah, adapun yang benar adalah begini, begini.” Tidak apa-apa begitu, bahkan seharusnya memang begitu.

Bahkan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, pemimpin para pemberi fatwa, ketika orang-orang bertanya kepada beliau tentang mengawinkan tanaman, yaitu pada pohon korma, beliau mengatakan,

“Aku pikir itu tidak perlu.”

Lalu orang-orang itu memberitahu beliau, bahwa jika tidak demikian maka akan gagal. Selanjutnya beliau mengatakan,

“Sesungguhnya aku hanya menduga. Jadi, jangan kalian salahkan aku karena dugaan, tapi jika aku sampaikan sesuatu dari Allah, hendaklah kalian menerimanya, karena sesungguhnya aku tidak akan berdusta atas nama Allah Subhanahu wa Ta’ala.”[HR. Muslim dalam Al-Fadha’il (2361} senada dengan itu]

Kemudian beliau memerintahkan mereka untuk kembali mengawinkan tanaman tersebut.

Demikian juga Umar Radiyallahu ‘anhu, pernah menfatwakan bahwa saudara tidak mendapatkan warisan dalam kondisi musyarakah (bila kakek orang yang meninggal masih hidup). Kemudian menfatwakan kembali berdasarkan dalil yang dianggap rajih dalam hal itu, bahwa saudara tetap mendapatkan warisan.

Jadi, kembali kepada sesuatu yang diyakini oleh seorang ulama, bahwa hal itu benar dan haq, adalah sesuatu yang tidak diketahui, karena itulah jalannya para ahli ilmu dan iman. Tidak ada dosa dalam hal ini, tidak pula ada kekurangan, bahkan menunjukkan keutamaan dan kekuatan imannya, karena ia mau kembali kepada yang benar dan meninggalkan yang salah.

Jika ada seseorang, atau ada orang bodoh yang mengatakan, “Sungguh ini suatu aib” itu bukan apa-apa, yang benar bahwa itu adalah keutamaan dan itulah kelebihan, bukan kekurangan.

[Majalah Al-Buhuts Al-Islamiyyah, edisi 47, hal. 172-173, Syaikh Ibnu Baz]

FATWA DI ZAMAN INI

Pertanyaan
Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz ditanya : Apa pendapat Syaikh tentang ungkapan yang menyebutkan, “Sesungguhnya perkara-perkara kontemporer sangat kompleks ruwet, karena itu, fatwa-fatwa yang dikeluarkan harus dari kelompok yang universal, yang terdiri dari berbagai kalangan spesialis yang membidangi berbagai problema atau kondisi, yang mana di antara mereka ada ahli fikihnya?”

Jawaban
Sesungguhnya fatwa itu harus berotasi pada dalil-dalil syari’at Jika fatwa itu dikeluarkan dari kelompok yang lebih lengkap, tentu akan lebih lengkap dan lebih utama untuk mencapai kebenaran, tapi hal ini tidak menghalangi seorang alim untuk mengeluarkan fatwa berdasarkan syari’at nan suci yang diketahuinya.

[Majalah Al-Buhuts Al-Islamiyyah, edisi 32, hal. 117, Syaikh Ibnu Baz]

PEMINTA FATWA TIDAK DIPERSALAHKAN JIKA BERTINDAK SESUAI FATWA ORANG LAIN

Oleh
Syaikh Abdullah bin Abdurrahman Al-Jibrin

Pertanyaan
Syaikh Abdullah bin Abdurrahman Al-Jibrin ditanya : Mengenai orang awam yang bukan mujtahid, jika ia melakukan suatu perbuatan dengan berpedoman pada fatwa salah seorang ulama yang mu’tabar di negerinya, apakah ia turut bertanggung jawab atas akibat perbuatannya tersebut, atau apakah ia tidak ikut bertanggung jawab karena mengikuti pemberi fatwanya?

Jawaban
Jika pemberi fatwa itu seorang yang diakui di kalangan para ahli ilmu, yaitu dalam segi keilmuan, keimanan dan kewara’annya serta telah mengemban tugas syar’i yang perannya memang demikian, seperti; qadhi (hakim), guru, pengajar, khathib, pendidik, jika memberi fatwa, maka fatwanya boleh dipegang bila memang tidak ada yang lebih alim darinya. Juga bila tidak mengelishi nash-nash syari’at yang jelas dan tidak ada perbedaan pendapat dengan para ahlul ilmi atau sebagian ahlul ilmi. Orang yang melaksanakan fatwa itu tidak dipersalahkan karena perbuatan tersebut, baik berupa akibat maupun tanggung jawab, karena dosanya ditanggung oleh pemberi fatwa jika ia tergesa-gesa dan memberi fatwa tanpa berdasarkan ilmu.

[Fatwa Syaikh Abdullah Al-Jibrin yang beliau tanda tangani]

PEMINTA FATWA TIDAK DIPERSALAHKAN SEHINGGA PERKARANYA JELAS

Pertanyaan
Syaikh Abdullah bin Abdurrahman Al-Jibrin ditanya : Jika seorang awam mengikuti fatwa seorang ulama yang mu’tabar di negerinya dan melaksanakan petunjuk yang terkandung di dalamnya, lalu tampak kesalahan pada perbuatan tersebut, apakah hakim boleh menghukumnya akibat perbuatan tersebut yang sebenarnya berpatokan pada fatwa seorang ulama?

Jawaban:
Perlu diperhatikan perkara yang menimbulkan kesalahan itu, jika hal itu membahayakan atau merugikan orang lain, maka kesalahan dilimpahkan kepada pemberi fatwa, karena ia telah memberi fatwa dengan tergesa-gesa tanpa berdasarkan ilmu sehingga mengakibatkan lahirnya bahaya tersebut. Sang hakim hendaknya menghukum pemberi fatwa, karena ia telah memberi fatwa dengan cara yang tidak seksama, lalu hakim memperingatkan agar tidak tergesa-gesa dalam memberi fatwa karena bisa menimbulkan bahaya, walaupun pemberi fatwa itu tidak mengharuskan pelaksanaan fatwanya tersebut. Jika penerima fatwa itu salah dalam bertindak dan bertentangan dengan fatwa tersebut lalu menimbulkan bahaya terhadap orang lain, maka kesalahan tersebut ditimpakan kepada penerima fatwa, karena ia telah merubah fatwa dan menyelisihi apa yang diucapkan oleh pemberi fatwa. Jika hal tersebut tidak menimbulkan bahaya terhadap orang lain, tapi sekedar menggugurkan perbuatan tersebut, maka tidak ada yang dipersalahkan, baik pemberi fatwa maupun penerima fatwa, hanya saja perbuatan tersebut digugurkan dan diharuskan untuk diulang jika itu suatu kewajiban.

[Fatwa Syaikh Abdullah Al-Jibrin yang beliau tanda tangani]

[Disalin dari buku Al-Fatawa Asy-Syar’iyyah Fi Al-Masa’il Al-Ashriyyah Min Fatawa Ulama Al-Balad Al-Haram, edisi Indonesia Fatwa-Fatwa Terkini, Penerjemah Musthofa Aini, Penerbit Darul Haq]

Larangan Shalat Di Masjid Dhirar

LARANGAN SHALAT DI MASJID DHIRAR

Oleh
Ustadz Nur Kholis Bin Kurdian

وَالَّذِينَ اتَّخَذُوا مَسْجِدًا ضِرَارًا وَكُفْرًا وَتَفْرِيقًا بَيْنَ الْمُؤْمِنِينَ وَإِرْصَادًا لِّمَنْ حَارَبَ اللَّهَ وَرَسُولَهُ مِن قَبْلُ ۚ وَلَيَحْلِفُنَّ
إِنْ أَرَدْنَا إِلَّا الْحُسْنَىٰ ۖ وَاللَّهُ يَشْهَدُ إِنَّهُمْ لَكَاذِبُونَ

Dan (di antara orang-orang munafik itu) ada orang yang mendirikan masjid untuk menimbulkan kemadharatan (pada orang-orang Mukmin), untuk kekafiran dan memecah belah antara orang-orang Mukmin serta menunggu kedatangan orang yang telah memerangi Allah dan Rasul-Nya sejak dahulu. Mereka sesungguhnya bersumpah,”kami tidak menghendaki selain kebaikan.”Dan Allah menjadi saksi bahwa sesungguhnya mereka itu adalah pendusta (dalam sumpahnya).[at-Taubah/9:107]

SEBAB TURUNNYA AYAT
Ibnu Mardawaih rahimahullah meriwayatkan dari Ibnu Ishâq rahimahullah yang berkata, “Ibnu Syihâb az-Zuhri menyebutkan dari Ibnu Akîmah al-Laitsi dari anak saudara Abi Rahmi al-Ghifâri Radhiyallahu ‘anhu. Dia mendengar Abi Rahmi al-Ghifâri Radhiyallahu ‘anhu – dia termasuk yang ikut baiat kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam pada hari Hudaibiyah – berkata, “Telah datang orang-orang yang membangun masjid dhirâr kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam,pada saat beliau bersiap-siap akan berangkat ke Tabuk. Mereka berkata, “Wahai Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, kami telah membangun masjid buat orang-orang yang sakit maupun yang mempunyai keperluan pada malam yang sangat dingin dan hujan. Kami senang jika engkau mendatangi kami dan shalat di masjid tersebut.” Kemudian Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab,” Aku sekarang mau berangkat bepergian, insya Allah Azza wa Jalla setelah kembali nanti aku akan mengunjungi kalian dan shalat di masjid kalian.” Kemudian dalam perjalanan pulang dari Tabuk, beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam beristirahat di Dzu Awan (jaraknya ke Madinah sekitar setengah hari perjalanan). Pada waktu itulah Allah Azza wa Jalla memberi kabar kepada beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam tentang masjid tersebut (dan larangan shalat di dalamnya) dengan menurunkan ayat ini. [1]

PENJELASAN AYAT
Sebelum Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam hijrah ke Madinah, di kota suci ini ada seorang laki-laki dari bani Khazraj berjuluk Abu Amir ar-Râhib. Lelaki ini pada masa jahiliyah beragama Nasrani dan mempelajari kitabkitabnya, sehingga dia termasuk orang yang tekun beribadah pada masa itu. Di sisi lain dia juga mempunyai kedudukan dan pengaruh besar dalam kabilahnya. Ketika Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam hijrah ke Madinah, kaum Muslimin bersatu di bawah tampuk kepemimpinan beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam ; sehingga Islam menjadi kuat, apalagi setelah Allah Azza wa Jalla memenangkannya pada waktu perang Badar.

Melihat keadaan seperti ini Abu Amir tidak rela, sehingga dia menampakkan permusuhannya terhadap kaum Muslimin; sampai-sampai dia pergi ke Mekah menemui orang-orang kafir Quraisy untuk mengajak memerangi Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan kaum Muslimin di Madinah. Mereka pun setuju dan kemudian menyusun kekuatan; hingga terjadilah perang Uhud. Dia juga mengajak kaum Anshar untuk bekerja sama dan menyetujui pemikirannya. Namun ketika mereka mengetahui maksud buruknya, mereka berkata,”Wahai musuh Allah Azza wa Jalla, semoga Allah Azza wa Jalla menjadikanmu sebagai orang yang dibenci setiap orang yang melihatmu”, Mereka mencaci-maki dan mencelanya; lalu dia pulang dan berkata,”Demi Allah Azza wa Jalla, kejelekan telah menimpa kaumku”. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam juga telah mengajaknya untuk masuk Islam serta membacakan al-Qur’ân kepadanya sebelum dia lari ke negeri Romawi. Meskipun demikian, dia tetap menolak masuk Islam, [2] bahkan mengatakan kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Aku tidak menemui suatu kaum yang memerangimu kecuali aku bersama mereka”.[3] Maka beliau mendoakan dia agar mati di tempat yang jauh dalam keadaan terusir. [4]

Lelaki ini memang selalu bersama orang-orang kafir dalam semua peperangan melawan kaum Muslimin. Kemudian ketika mereka kalah dalam perang di Hawazun, dia pergi ke negeri Romawi meminta bantuan raja Romawi untuk memerangi Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Dari sana dia juga menyuruh orang-orang munafik (dari penduduk Madinah) untuk membangun masjid dhirâr.[5]

Atas dasar perintah tersebut, mereka lalu mendirikan masjid berdekatan dengan masjid Quba’. Masjid tersebut selesai didirikan sebelum Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam berangkat ke Tabuk. Lalu mereka mendatangi beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam, meminta agar beliau mengunjungi mereka dan shalat di masjid itu. Sebenarnya mereka bermaksud (mengelabui kaum Muslimin) menjadikan shalat beliau ini sebagai hujjah bagi mereka, bahwasanya Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah menyetujui pembangunan masjid tersebut. Mereka menyebutkan kepada beliau alasan mendirikan masjid itu; yaitu untuk orang-orang tua maupun yang sakit (yang tidak bisa hadir shalat berjama’ah di masjid Quba’) pada saat malam musim dingin (akan tetapi alasan ini tidaklah benar adanya).[6]

Kemudian Allah Azza wa Jalla melarang rasul-Nya agar tidak melaksanakan shalat di masjid tersebut, dengan menurunkan ayat di atas. Penjelasannya:

“Mereka yang mendirikan masjid dhirâr adalah sekawanan orang (munafik) dari penduduk Madinah yang jumlahnya dua belas orang.[7] Mereka mendirikan masjid dengan tujuan menimbulkan kemadharatan pada orang-orang Mukmin dan masjid mereka’,[8] dan untuk menguatkan kekafiran orang-orang munafik,[9] serta memecah belah jama’ah kaum Mukminin. Pada awalnya mereka semua shalat berjamaah di satu masjid (masjid Quba’), kemudian terpecah menjadi dua masjid (di masjid Quba’ dan masjid dhirâr). Mereka ingin mendapatkan kesempatan untuk menyebarkan syubhat, menghasut, menfitnah dan memecah belah shaf kaum Mukminin. [10] Juga untuk menunggu kedatangan orang yang telah memerangi Allah Azza wa Jalla dan Rasul-Nya Shallallahu ‘alaihi wa sallam sejak dahulu yaitu Abu Amir ar-Râhib.[11] Mereka sesungguhnya bersumpah dengan mengatakan,”Kami tidak menghendaki kecuali kebaikan yaitu menunaikan shalat dan berdzikir di dalamnya serta memberi kemudahan bagi para jama’ah.” Dan Allah Azza wa Jalla menjadi saksi bahwa sesungguhnya mereka itu adalah pendusta (dalam sumpahnya).[12]

Larangan Allah Azza wa Jalla tersebut telah di sebutkan dengan jelas di dalam ayat berikutnya, yaitu:

لَا تَقُمْ فِيهِ أَبَدًا ۚ لَّمَسْجِدٌ أُسِّسَ عَلَى التَّقْوَىٰ مِنْ أَوَّلِ يَوْمٍ أَحَقُّ أَن تَقُومَ فِيهِ ۚ فِيهِ رِجَالٌ يُحِبُّونَ أَن يَتَطَهَّرُوا ۚ وَاللَّهُ يُحِبُّ الْمُطَّهِّرِينَ

Janganlah kamu shalat di dalam masjid itu selama-lamanya. Sesungguhnya masjid yang didirikan atas dasar takwa, sejak hari pertama adalah lebih patut kamu shalat di dalamnya. Di dalamnya ada orang-orang yang ingin membersihkan diri. Dan Allah Azza wa Jalla menyukai orang-orang yang bersih.[at-Taubah/9:108]

Larangan Allah Azza wa Jalla ini tidaklah khusus bagi Rasul-Nya Shallallahu ‘alaihi wa sallam saja, akan tetapi kaum Muslimin juga termasuk dalam larangan tersebut; sebagaimana dijelaskan oleh Imam Ibnu Katsîr rahimahullah, “Ayat (di atas) merupakan larangan dari Allah Azza wa Jalla kepada Rasullullah Shallallahu ‘alaihi wa salalm agar tidak shalat di masjid tersebut selamalamanya, dan umatnya mengikutinya dalam hal ini.” [13]

Kemudian Allah Azza wa Jalla memerintahkan Rasul-Nya Shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk melaksanakan shalat di masjid Quba’ yang telah didirikan atas dasar takwa sejak hari pertama. Maksudnya atas dasar ketaatan kepada-Nya dan kepada Rasul-Nya dan juga untuk mempersatukan ukhuwah kaum Muslimin serta sebagai markas mereka.[14]

Dalam ayat di atas juga terdapat pujian Allah Azza wa Jalla kepada penduduk Quba’.

Syaikh Abu Bakar al-Jazâiri hafidzahullâh berkata, “(Di dalam ayat ini) terdapat pujian kepada penduduk Quba’ dan kabar bahwa mereka adalah orang-orang yang menyukai bersuci dari kotoran badan maupun hati.” Kemudian Allah Azza wa Jalla berfirman:

أَفَمَنْ أَسَّسَ بُنْيَانَهُ عَلَىٰ تَقْوَىٰ مِنَ اللَّهِ وَرِضْوَانٍ خَيْرٌ أَم مَّنْ أَسَّسَ بُنْيَانَهُ عَلَىٰ شَفَا جُرُفٍ هَارٍ فَانْهَارَ بِهِ فِي نَارِ جَهَنَّمَ ۗ وَاللَّهُ لَا يَهْدِي الْقَوْمَ الظَّالِمِينَ

“Maka apakah orang-orang yang mendirikan masjidnya di atas dasar takwa kepada Allah dan keridhaan-Nya itu yang lebih baik, ataukah orangorang yang mendirikan bangunannya di tepi jurang yang runtuh, lalu bangunannya itu jatuh bersamasama dengan dia ke neraka Jahannam? Dan Allah tidaklah memberi petunjuk kepada orang-orang yang dzalim. [at-Taubah/9:109]

Istifhâm (pertanyaan) dalam ayat ini adalah untuk taqrîr (menetapkan),[15] (maksudnya menetapkan bahwa mereka kaum Mukminin itu lebih baik daripada orang-orang munafik).

Maka tidaklah sama antara orang yang mendirikan masjid atas dasar takwa kepada Allah Azza wa Jalla dan mengharap ridha-Nya dengan orang yang mendirikan masjid atas dasar kemadharatan, kekafiran dan memecah-belah kaum Mukminin serta untuk menunggu kedatangan orang yang memusuhi Allah Azza wa Jalla dan Rasul-Nya Shallallahu ‘alaihi wa sallam sejak dahulu. Pada hakikatnya mereka mendirikan masjid di tepi jurang yang akan runtuh,[16] lalu tepi jurang itu menyebabkan bangunannya runtuh bersama-sama mereka ke neraka Jahannam.[17] Seperti halnya mereka membangunnya di tepi neraka Jahannam, sehingga bangunan itu runtuh bersama mereka ke dalamnya.[18] Dan Allah Azza wa Jalla tidaklah memberi petunjuk kepada orang-orang yang dzalim sehingga mereka merugi di dunia maupun di akhirat.[19]

Kemudian Allah Azza wa Jalla berfirman:

لَا يَزَالُ بُنْيَانُهُمُ الَّذِي بَنَوْا رِيبَةً فِي قُلُوبِهِمْ إِلَّا أَن تَقَطَّعَ قُلُوبُهُمْ ۗ وَاللَّهُ عَلِيمٌ حَكِيمٌ

“Bangunan-bangunan mereka itu senantiasa menjadi keraguan dalam hati mereka, kecuali jika hati mereka telah hancur, dan Allah Maha mengetahui lagi Maha Bijaksana. [at-Taubah/9:110]

Syaikh as-Sa’di rahimahullah dalam menafsirkan ayat ini mengatakan, “(Bangunan tersebut) menyebabkan keraguan itu melekat di hati mereka, kecuali jika mereka benar-benar menyesali dan bertaubat atas perbuatan mereka serta takut kepada Allah Azza wa Jalla. Jika demikian, maka Allah Azza wa Jalla akan mengampuni mereka. Tetapi jika sebaliknya, maka bangunan tersebut tidak akan menambah pada mereka, kecuali kemunafikan di atas kemunafikan. Dan Allah Azza wa Jalla Maha Mengetahui atas segala sesuatu, baik yang ditampakkan oleh hamba-Nya maupun yang disembunyikan. Maha Bijaksana, tidak melakukan dan menciptakan, memerintahkan dan melarang kecuali di balik itu semua ada hikmahnya dan bagi-Nya segala pujian.[20]

Kemudian Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengutus Mâlik bin Dukhsyum saudara Bani Salim dan Ma’an bin Adi seraya berkata kepada mereka berdua,”Pergilah kalian ke masjid yang didirikan oleh orang-orang dzalim (masjid dhirâr), kemudian hancurkan dan bakarlah.” Maka keduanya pun berangkat; sesampainya di perkampungan Bani Sâlim, Mâlik berkata kepada Ma’an, “Tunggu sebentar, aku akan mengambil api dari rumah keluargaku.” Sesaat kemudian dia keluar dengan membawa pelepah kurma yang dibakar dan berjalan dengan Ma’an menuju masjid itu; lalu membakar dan menghancurkannya, sehingga orang yang berada di dalamnya (berlarian) keluar.[21]

SedangkanAbu Amir ar-Râhib; dia mati di kota Qansarin (wilayah Romawi) akibat doa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam atasnya.[22]

PELAJARAN DARI AYAT
1. Setiap masjid yang dibangun dengan tujuan memberikan madharat dan memecah belah kaum Muslimin serta untuk memusuhi Allah Azza wa Jalladan Rasul-Nya Shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka hukumnya wajib dihancurkan dan haram shalat di dalamnya.

2. Tidak boleh mempercayai perkataan orang-orang munafik, karena perkataan mereka bohong belaka.

3. Keutamaan membersihkan diri baik dari kotoran badan maupun kotoran hati.

4. Larangan berbuat dzalim dan berlebih-lebihan dalam kedzaliman; karena perbuatan tersebut akan menyebabkan pelakunya tidak mendapat hidayah oleh Allah Azza wa Jalla, sehingga dia mati dalam keadaan dzalim dan merugi di dunia dan di akhirat.

5. Jika masjid Quba’ didirikan atas dasar takwa sejak hari pertama, maka masjid Nabawi yang dibangun Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam lebih pantas atas berlandaskan itu.

MARAJI’
1. Aisarut-Tafâsir, Abu Bakr Jâbir al-Jazâiri, Maktabah Ulum Walhikam, Madinah. Cetakan kelima th.1424 H/2003M.
2. Taisîrul Karîmirrahmân Fî Tafsîri Kalâmil Mannân, Abdurrahmân bin Nâshir bin As-Sa’di, Muassasah ar-Risâlah – Beirut. Cetakan pertama tahun 1420 H- tahun 2000 M.
3. Ma’âlimut Tanzîl, Abu Muhammad al-Husain bin Mas’ûd Al-Baghawi, Dâr Thaibah – Riyâdl – KSA. Cetakan keempat th.1417 H/ th.1997 M.
4. Tafsîrul-Qur’ânil-Adzîm, Al-Hâfidz Abul Fidâ’ Isma’îl bin Umar Bin Katsîr Al-Qurasyi, Dârut-Taibah Riyâdl-KSA. Cetakan kedua th.1417 H/ th.1997 M.
5. Irsyâdul Aqlis Salîm Ilâ Mazâyal Qur’ânul Karîm (Tafsîr Abu Su’ûd), Muhammad bin Muhammad Al-‘Imadi Abu Su’ûd, Dâr Ihya’ Turâts Al-Arabi – Beirut.
6. Al-Jâmi’ li-Ahkâmil Qur’ân, Abu Abdillâh Muhammad bin Ahmad bin Abi Bakr bin Farah Al-Anshâri Al-Qurthubi, Dâr Alamul-kutub – Riyâdl–KSA. Cetakan th.14 23 H/th.2003 M.
7. Jâmi’ul-Bayân ‘an Ta’wîlil Ayil-Qur’ân, Muahammad bin Jarîr Abu Ja’far at-Thabari, Mu’assasah ar-Risâlah – Lebanon. Cetakan pertama th.1420 H/ th.2000 M.
8. Lubâbun Nuqûl Fî Asbâbin Nuzûl, Abdurrahmân bin Abu Bakr bin Muhammad As-Suyûthi Abul Fadhl, Dâr Ihyâ’il Ulûm – Beirut.

[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 03/Tahun XII/1430H/2009M. Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km.8 Selokaton Gondanrejo Solo 57183 Telp. 0271-858197 Fax 0271-858197]
_______
Footnote
[1]. Lubâbun-Nuqûl fî Asbâbin-Nuzûl (Hal.115).
[2]. Tafsir Ibnu Katsîr (Juz 4 / Hal.210-211).
[3]. Aisarut Tafâsîr (Juz 2 / Hal.425).
[4]. Tafsir Ibnu Katsîr (Juz 4 / Hal.210-211).
[5]. Aisarut Tafâsîr (Juz 2 / Hal.425).
[6].Tafsir Ibnu Katsîr (Juz 4 / Hal.211).
[7]. Tafsir Ath-thabary (Juz 14 / Hal.468).
[8]. Tafsir As-Sa’di (Hal.351).
[9]. Tafsir Abu Su’ûd (Juz 4 / Hal.102).
[10]. Aisarut Tafâsîr (Juz 2 / Hal.425).
[11].Tafsir Al-Qurthubi (Juz 8 / Hal.257).
[12].Tafsir Abu Su’ûd (Juz 4 / Hal.102).
[13]. Tafsir Ibnu Katsîr (Juz 4 / Hal.212).
[14]. Ibid.
[15]. Tafsir Al-Qurthubi (Juz 8 / Hal.263).
[16]. Tafsir Ibnu Katsîr (Juz 4 / Hal.217).
[17]. Aisarut Tafâsîr (Juz 2 / Hal.426).
[18]. Tafsir Al-Baghawi (Juz 4 / Hal.97).
[19]. Aisarut Tafâsîr (Juz 2 / Hal.426).
[20]. Tafsir As-Sa’di (Hal.351).
[21]. Tafsir Ibnu Katsîr (Juz 4 / Hal.212).
[22]. Tafsir Al-Qurthubi (Juz 8 / Hal.257).

Siapakah Yang Layak Diberi Amanah

SIAPAKAH YANG LAYAK DIBERI AMANAH?

Oleh
Abu Abdillah Arief B. bin Usman Rozali

Betapa menyedihkan, tatkala sifat amanah ini telah hilang dari sebagian kaum Muslimin, apalagi yang sudah “mengaji”.

Ketahuilah, wahai para pembaca budiman,
Sebagai seorang yang benar-benar mengaku beriman kepada Allah dan mengaku mengikuti manhaj Salaf yang sempurna dan mulia ini, maka, perhatikanlah baik-baik!

Karena tidak jarang kita mendapatkan khabar tentang si Fulan yang tidak menepati janjinya … berpura-pura lupa … Si Fulan sangat menggampangkan sesuatu yang berkaitan dengan tugasnya … Bahkan … Si Fulan telah menipu rekan bisnisnya … Si Fulan berbohong dan tidak amanah kepada atasannya … Si Fulan menipu ustadznya yang berbisnis dengannya … Sungguh mengherankan, sekaligus memalukan! Wallahul Musta’an, wa laa haula wa laa quwwata illa billah.

Maka dengan tulisan ini, semoga menjadi penggugah, agar kita menetapi amanah yang telah dipercayakan. Baik berkaitan dengan harta benda, sehingga menjaganya sepenuh hati. Atau masalah tanggung jawab pekerjaan, sehingga menunaikan tugas dengan baik dan meningkatkan etos kerja. Atau sekedar sebuah janji yang diberikan, sehingga harus dipenuhi. Dengan menetapi amanah, kita dapat membangun keindahan dalam bermuamalah. (Redaksi).
____________________________________________

Amanah adalah sifat mulia. Sehingga amat disayangkan jika kaum Muslimin kehilangan sifat mulia ini. Padahal Allah Subhanahu wa Ta’ala dan RasulNya Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah memerintahkan kepada setiap muslim untuk menunaikan amanah, menjelaskan akibat buruk mengabaikan dan melalaikan amanah. Penyebab utama seseorang terjerumus ke dalam kemaksiatan ini adalah karena kejahilan (kebodohan).[1]

Kebodohan seorang muslim terhadap pentingnya masalah amanah, telah membuatnya meninggalkan perintah Allah Subhanahu wa Ta’ala yang sangat agung ini, sekaligus telah bermaksiat. Dan bahkan dapat menjadi dosa besar, jika seseorang yang telah mengetahui hukumnya, tetapi justru menyia-nyiakan amanah.

Oleh karena itu, sebagai seorang muslim, kita senantiasa berusaha keras dan sungguh-sungguh membebaskan diri dari kejahilan, yakni dengan menuntut ilmu syar’i secara umum, dan memahami urgensi amanah ini secara khusus, lalu mengamalkannya. Serta tetap terus memohon dan berdoa kepada Allah Subhanahun wa Ta’ala agar kita senantisa diberi taufiq, hidayah, dan segala kemudahan dalam menuntut ilmu syar’i, memahaminya, serta merealisasikan syariat Islam yang sempurna dan mulia ini dalam keseharian.

MAKNA AMANAH
Al Imam Ibnu al Atsir rahimahullah berkata, amanah bisa bermakna ketaatan, ibadah, titipan, kepercayaan, dan jaminan keamanan [2]. Begitu juga al Hafizh Ibnu Katsir rahimahullah membawakan beberapa perkataan dari sahabat dan tabi’in tentang makna amanah ini. Ketika menafsirkan surat al Ahzab ayat 72, al Hafizh Ibnu Katsir membawakan beberapa perkataan sahabat dan tabi’in tentang makna amanah dengan menyatakan, makna amanah adalah ketaatan, kewajiban-kewajiban, (perintah-perintah) agama, dan batasan-batasan hukum.[3]

Asy Syaikh al Mubarakfuri rahimahullah berkata,”(Amanah) adalah segala sesuatu yang mewajibkan engkau untuk menunaikannya” [4]. Adapun menurut asy Syaikh Masyhur bin Hasan Alu Salman -hafizhahullah-amanah adalah, kepercayaan orang berupa barang-barang titipan, dan perintah Allah berupa shalat, puasa, zakat dan semisalnya, menjaga kemaluan dari hal-hal haram, dan menjaga seluruh anggota tubuh dari segala perbuatan dosa. [5]

Sedangkan asy Syaikh Salim bin ‘Id al Hilali -hafizhahullah- menjelaskan, amanah adalah sebuah perintah menyeluruh dan mencakup segala hal berkaitan dengan perkara-perkara, yang dengannya, seseorang terbebani untuk menunaikannya, atau ia dipercaya dengannya. Sehingga amanah ini mencakup seluruh hak-hak Allah atas seseorang, seperti perintah-perintahNya yang wajib. Juga meliputi hak-hak orang lain, seperti barang-barang titipan (yang harus ditunaikan dan disampaikan kepada si pemiliknya, Pen). Sehingga, sudah semestinya seseorang yang dibebani amanah, ia menunaikannya dengan sebaik-baiknya dengan menyampaikan kepada pemiliknya. Ia tidak boleh menyembunyikan, mengingkari, atau bahkan menggunakannya tanpa izin yang syar’i.[6]

Asy Syaikh Husain bin Abdul Aziz Alu asy Syaikh -hafizhahullah- juga menjelaskan : “Para ulama telah berkata, hal-hal yang termasuk amanah sangatlah banyak. Kaidah dan dasar hukumnya adalah segala sesuatu yang seseorang terbebani dengannya, dan hak-hak yang telah diperintahkan Allah Subhanahu wa Ta’ala agar ia memelihara dan menunaikannya, baik berkaitan dengan agama, jiwa manusia, akal, harta, dan kehormatan harga diri”. [7]

DI ANTARA DALIL-DALIL AL QUR`AN YANG MENJELASKAN TENTANG AMANAH
1. Surat an Nisaa/4 ayat 58 :
“Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya…”

Al Hafizh Ibnu Katsir rahimahullah di dalam Tafsir al Qur’an al ‘Azhim (2/338-339) berkata : Allah Subhanahu wa Ta’ala telah mengabarkan bahwa sesungguhnya Ia memerintahkan (kepada kita) untuk menunaikan amanah kepada pemiliknya. Dalam sebuah hadits dari al Hasan, dari Samurah, sesungguhnya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

أَدِّ الأَمَانَةَ إِلَى مَنِ ائْـتَمَنَكَ، وَلاَ تَخُنْ مَنْ خَانَكَ

“Tunaikanlah amanah kepada orang yang engkau dipercaya (untuk menunaikan amanah kepadanya), dan jangan khianati orang yang telah mengkhianatimu”. [Diriwayatkan oleh al Imam Ahmad dan Ahlus Sunan].[8]

Ini mencakup seluruh jenis amanah yang wajib ditunaikan oleh seseorang yang dibebani dengannya. Baik (amanah itu) berupa hak-hak Allah atas hambanya, seperti (menunaikan) shalat, zakat, kaffarat, nadzar, puasa, dan lain-lainnya yang ia terbebani dengannya dan tidak terlihat oleh hamba-hamba Allah lainnya. Ataupun berupa hak-hak sesama manusia, seperti barang-barang titipan, dan yang semisalnya, yang mereka saling mempercayai satu orang dengan yang lainnya tanpa ada bukti atasnya. Maka, Allah Subhanahu wa Ta’ala telah memerintahkannya untuk menunaikannya. Barangsiapa yang tidak menunaikannya, akan diambil darinya pada hari Kiamat kelak.[9]

2. Surat al Anfal/8 ayat 27 :

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ لاَ تَخُونُواْ اللهَ وَالرَّسُولَ وَتَخُونُواْ أَمَانَاتِكُمْ وَأَنتُمْ تَعْلَمُونَ

“Hai orang-orang beriman, janganlah kamu mengkhianati Allah dan Rasul (Muhammad) dan (juga) janganlah kamu mengkhianati amanat-amanat yang dipercayakan kepadamu, sedang kamu mengetahui.”

Al Hafizh Ibnu Katsir rahimahullah berkata,”… Dan khianat, mencakup seluruh perbuatan dosa, baik yang kecil maupun yang besar, baik (dosanya) terhadap dirinya sendiri maupun terhadap orang lain. ‘Ali bin Abi Thalhah berkata, dari Ibnu ‘Abbas, (tentang firmanNya) وَتَخُونُواْ أَمَانَاتِكُمْ , amanah adalah seluruh perbuatan yang telah Allah bebankan kepada hamba-hambaNya (agar mereka menunaikannya, Pen), yaitu (berupa) kewajiban-kewajiban. Dan maksud “janganlah kamu mengkhianati amanat-amanat” adalah, janganlah kamu menggugurkannya. Dalam sebuah riwayat, ‘Ibnu Abbas menjelaskan maksud firmanNya: لاَ تَخُونُواْ اللهَ وَالرَّسُولَ , (janganlah kamu mengkhianati Allah dan Rasul), dengan cara meninggalkan sunnah Nabi dan melakukan maksiat kepada Nabi” [10]

3. Surat al Ahzab/33 ayat 72 :
”Sesungguhnya Kami telah mengemukakan amanat kepada langit, bumi dan gunung-gunung, maka semuanya enggan untuk memikul amanat itu dan mereka khawatir akan mengkhianatinya, dan dipikullah amanat itu oleh manusia. Sesungguhnya manusia itu amat zhalim dan amat bodoh”.

Al Hafizh Ibnu Katsir t , setelah membawakan beberapa perkataan dari shahabat dan tabi’in tentang makna amanah ini, beliau berkata: “Seluruh perkataan ini, tidak ada pertentangan sesamanya. Bahkan seluruhnya bermakna sama dan kembali kepada satu makna, (yaitu) pembebanan, penerimaan perintah-perintah dan larangan-larangan dengan syarat-syaratnya. Dan hal ini, jika seseorang menunaikannya, maka ia akan diberi pahala. Namun, jika ia menyia-nyiakannya, maka ia pun akan disiksa. Akhirnya, manusialah yang menerima amanah ini, padahal ia lemah, bodoh, lagi berbuat zhalim. Kecuali orang yang diberi taufiq oleh Allah, dan Allah-lah tempat memohon pertolongan”.[11]

4. Surat al Mu’minun/23 ayat 8, atau surat al Ma’arij/70 ayat 32:
“Dan orang-orang yang memelihara amanat-amanat (yang dipikulnya) dan janjinya”.

Al Hafizh Ibnu Katsir rahimahullah dalam Tafsir al Qur’an al ‘Azhim (8/227) berkata: “Maksudnya, apabila mereka dipercaya (dalam suatu urusan), mereka tidak berkhianat. Dan apabila mereka mengadakan perjanjian, mereka tidak menyelisihinya. Demikianlah sifat orang-orang yang beriman. Dan kebalikan dari ini, adalah sifat orang-orang munafik. Sebagaimana diterangkan dalam hadits shahih, tanda orang munafiq ada tiga: apabila berbicara ia berdusta, apabila berjanji ia menyelisihi janjinya, dan apabila diberi amanah (kepercayaan) ia berkhianat. Dalam sebuah riwayat, apabila berbicara ia berdusta, apabila berjanji ia menyelisihi janjinya, dan apabila bertengkar ia berbuat curang.[12]

5. Surat al Baqarah/2 ayat 283:
“…Maka hendaklah yang dipercayai itu menunaikan amanatnya (hutangnya) dan hendaklah dia bertakwa kepada Allah Tuhannya…”.

DI ANTARA DALIL-DALIL AS SUNNAH YANG BERKAITAN DENGAN AMANAH DAN KETERANGAN WAJIBNYA MENUNAIKAN AMANAH, SERTA AKIBAT BURUK MENYIA-NYIAKAN DAN MELALAIKANNYA
1. Hadits Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu, yang menjelaskan wajibnya menunaikan amanah kepada pemiliknya, ia berkata:

قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: أَدِّ الأَمَانَـةَ إِلَى مَنِ ائْـتَمَنَكَ، وَلاَ تَـخُنْ مَنْ خَانَكَ .

“Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Tunaikanlah amanah kepada orang yang engkau dipercaya (untuk menunaikan amanah kepadanya), dan jangan khianati orang yang telah mengkhianatimu”. [13]

Berkaitan dengan perintah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam hadits ini, asy Syaikh al Mubarakfuri rahimahullah berkata : “Perintah (di dalam hadits ini) menunjukkan wajibnya hal tersebut” [14]. Yakni, seseorang wajib menunaikan amanah. Sehingga Imam adz Dzahabi rahimahullah telah mengkategorikan perbuatan khianat ini ke dalam perbuatan dosa besar. Beliau berkata,”Khianat sangat buruk dalam segala hal, sebagiannya lebih buruk dari sebagian yang lainnya. Tidaklah orang yang mengkhianatimu dengan sedikit uang, seperti orang yang mengkhianatimu pada keluargamu, hartamu, dan ia pun melakukan dosa-dosa besar (lainnya)”.[15]

2. Hadits Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu, yang menjelaskan salah satu tanda hari Kiamat adalah apabila amanah telah disia-siakan, ia berkata:

بَيْنَمَا النَّـبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي مَجْلِسٍ يُحَدِّثُ القَوْمَ، جَاءَهُ أَعْرَابِيٌّ، فَقَالَ: مَتَى السَّاعَةُ؟ فَمَضَى رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُحَدِّثُ، فَقَالَ بَعْضُ القَوْمِ: سَمِعَ مَا قَالَ فَكَرِهَ مَا قَالَ، وَقَالَ بَعْضُهُمْ: بَلْ لَمْ يَسْمَعْ، حَتَّى إِذَا قَضَى حَدِيْـثَهُ، قَالَ: أَيْنَ -أُرَاهُ- السَّائِلُ عَنِ السَّاعَةِ؟ ، قَالَ: هَا أَنَا يَا رَسُوْلَ اللهِ، قَالَ: فَإِذَا ضُـيِّعَتِ الأَمَانَـةُ، فَانْـتَظِرِ السَّاعَةَ ، قَالَ: كَيْفَ إِضَاعَتُهَا؟ قَالَ: إِذَا وُسِّدَ الأَمْرُ إِلَى غَيْرِ أَهْلِهِ، فَانْـتَظِرِ السَّاعَةَ .

“Tatkala Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam berada dalam sebuah majelis (dan) berbicara dengan sekelompok orang, datanglah kepadanya seorang sahabat (dari sebuah perkampungan) dan berkata, “Kapankah hari kiamat?”. Namun Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam tetap melanjutkan pembicaraannya, maka sebagian orang ada yang berkata, “Ia (Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam ) mendengar ucapannya, namun ia tidak menyukainya”. Dan sebagian yang lain berkata: “Bahkan beliau tidak mendengarnya,” hingga akhirnya Rasulullah selesai dari pembicaraannya, dan beliau pun bersabda, “Mana orang yang (tadi) bertanya?” Orang itu berkata,”Inilah saya, wahai Rasulullah.” Rasulullah bersabda,”Apabila amanah telah disia-siakan, maka tunggulah hari kiamat!” Orang itu kembali bertanya,”Bagaimanakah menyia-nyiakan amanah itu?” Rasulullah bersabda,”Apabila suatu perkara diserahkan kepada orang yang bukan ahlinya, maka tunggulah hari kiamat!” [16]

3. Hadits Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anha , yang menerangkan khianat adalah salah satu tanda-tanda orang munafik, ia berkata:

عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، قَالَ: آيـَةُ المُـنَافِقِ ثَلاَثٌ، إِذَا حَدَّثَ كَذَبَ؛ وَإِذَا وَعَدَ أَخْـلَفَ؛ وَإِذَا اؤْتُـمِنَ خَانَ .

“Dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau bersabda, “Tanda orang munafik ada tiga : apabila berbicara ia berdusta, apabila berjanji ia menyelisihi janjinya, dan apabila diberi amanah (kepercayaan) ia berkhianat” [17].

4. Hadits Anas bin Malik Radhiyallahu ‘anhu, yang menjelaskan amanah dan menepati janji merupakan salah satu sifat orang beriman, ia berkata:

مَا خَطَبَنَا نَبِيُّ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، إِلاَّ قَالَ: لاَ إِيْـمَانَ لِمَنْ لاَ أَمَانَـةَ لَهُ، وَلاَ دِيْـنَ لِمَنْ لاَ عَهْدَ لَـهُ .

“Tidaklah Nabiyullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam berkhutbah kepada kami, melainkan beliau bersabda: “Tidak ada iman bagi orang yang tidak memiliki (sifat) amanah, dan tidak ada agama bagi orang yang tidak menepati janjinya”. [18]

Berkaitan dengan hadits ini, asy Syaikh Masyhur bin Hasan Alu Salman -hafizhahullah- berkata, “Maksud sabda beliau (لاَ إِيْـمَانَ), dikatakan oleh as Sindi, ada yang mengatakan bahwa maksud dari kedua penafian (peniadaan) dalam hadits ini adalah nafyul kamal (peniadaan kesempurnaan iman dan agama). Ada yang mengatakan pula, maksudnya adalah, sama sekali tidak beriman orang yang menganggap halal meninggalkan amanah, dan sama sekali tidak beragama seseorang yang menganggap halal melanggar janjinya. Dan maksud dari sabda beliau (لاَ دِيْـنَ لِمَنْ لاَ عَهْدَ لَـهُ) adalah, barangsiapa yang mengadakan sebuah perjanjian dengan orang lain, lalu ia sendiri yang melanggar dan tidak menepati janjinya tanpa ada ‘udzur (alasan) yang syar’i, maka agamanya kurang. Adapun jika dengan ‘udzur (alasan yang syar’i) -seperti seorang Imam (pemimpin) yang membatalkan perjanjian dengan seorang harbi (orang kafir yang diperangi), jika ia melihat ada kemaslahatan padanya-, maka hal ini boleh. Wallahu Ta’ala a’lam”.[19]

5. Hadits Abdullah bin ‘Amr bin al ‘Ash Radhiyallahu ‘anhuma , yang menerangkan salah satu tanda hari kiamat adalah datangnya sebuah zaman, yang pada saat itu, orang yang amanah (jujur) dianggap pengkhianat, dan pengkhianat dianggap orang yang amanah (jujur). Dia mendengar Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

إِنَّ اللهَ يُـبْغِضُ الفُحْشَ وَالتَّـفَحُّشَ، وَالَّذِيْ نَفْسُ مُحَمَّدٍ بِـيَدِهِ، لاَ تَـقُوْمُ السَّاعَةُ حَتَّى يُـخَوَّنَ الأَمِـيْنُ وَيُؤْتَـمَنَ الخَائِنُ، حَتَّى يَظْهَرَ الفُحْشُ وَالتَّـفَحُّشُ وَقَطِـيْعَةُ الأَرْحَامِ وَسُوْءُ الجِوَارِ… .

“Sesungguhnya Allah membenci (sifat) keji dan kekejian. Dan demi (Dzat) yang jiwa Muhammad berada di tangannya, tidak akan terjadi hari kiamat sampai orang yang amanah (jujur) dianggap pengkhianat, dan seorang pengkhianat dipercaya, sampai muncul (sifat) keji dan kekejian, pemutusan hubungan silaturahim (kerabat), dan buruk dalam bertetangga…”.[20]

SIAPAKAH YANG LAYAK DIBERI AMANAH?
Judul di atas memberikan pemahaman, tidak semua orang bisa diberi amanah kepercayan. Maksudnya, ada orang yang memiliki sifat-sifat tertentu, yang dengannya ia sebagai orang yang paling tepat dan paling berhak untuk dibebani amanah atau kepercayaan.

Asy Syaikh Abdul Muhsin bin Hamd al ‘Abbad al Badr -hafizhahullah- menjelaskan permasalahan ini dan berkata:

Dasar untuk memilih seorang pegawai atau pekerja adalah ia seorang yang kuat dan amanah (terpercaya). Karena dengan kekuatannya, ia mampu melakukan pekerjaan dengan baik. Dan dengan sifat amanahnya, ia akan menempatkan pada tempatnya semua perkara yang berkaitan dengan tugasnya. Dengan kekuatannya pula, ia sanggup menunaikan kewajiban yang telah dibebani atasnya.

Allah telah mengkhabarkan tentang salah satu dari kedua anak perempuan seorang penduduk Madyan, ia berkata kepada ayahnya tatkala Nabi Musa Alaihissallam mengambilkan minum untuk hewan ternak kedua wanita tersebut:

“… Wahai bapakku, ambillah ia sebagai orang yang bekerja (pada kita), karena sesungguhnya orang yang paling baik yang kamu ambil untuk bekerja (pada kita) ialah orang yang kuat lagi dapat dipercaya”. [al Qashash/28 : 26].

Allah Subhanahu wa Ta’ala juga telah mengkhabarkan tentang ‘Ifrit dari golongan jin, yang memperlihatkan kesanggupannya kepada Nabi Sulaiman Alaihissallam untuk membawa singgasana Balqis:

“…Aku akan datang kepadamu dengan membawa singgasana itu kepadamu sebelum kamu berdiri dari tempat dudukmu; sesungguhnya aku benar-benar kuat untuk membawanya lagi dapat dipercaya”. [an Naml/27 : 39].

Maknanya, ia memiliki kemampuan untuk membawa dan mendatangkannya, sekaligus menjaga apa yang terdapat di dalamnya.

Allah juga mengkhabarkan tentang Nabi Yusuf Alaihissallam , tatkala ia berkata kepada sang raja:

“… Jadikanlah aku bendaharawan negara (Mesir); sesungguhnya aku adalah orang yang pandai menjaga lagi berpengetahuan”. [Yusuf/12 : 55].

Kemudian, lawan dari sifat kuat dan amanah adalah lemah dan khianat. Sehingga, inipun menjadi dasar atas diri seseorang untuk tidak dipilih dan dibebani kepercayaan atau pekerjaan. Bahkan, mengharuskan untuk menjauhkannya dari kepercayaan atau pekerjaan.

Tatkala Umar bin al Khaththab Radhiyallahu ‘anhu menjadikan Sa’ad bin Abi Waqqash Radhiyallahu ‘anhu sebagai gubernur di Kufah, dan kemudian orang-orang dungu di Kufah mencelanya dan membicarakan buruk padanya, maka Umar Radhiyallahu ‘anhu melihat adanya kemaslahatan untuk menghentikan (Sa’ad bin Abi Waqqash Radhiyallahu ‘anhu) dari jabatan tersebut untuk menghindari fitnah. Selain itu juga, agar tidak ada orang yang berani berbuat macam-macam padanya. Kendatipun demikian, Umar Radhiyallahu ‘anhu, menjelang wafatnya memilih enam orang sahabat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam agar salah satu dari mereka dijadikan sebagai khalifah sepeninggalnya. Salah satu dari mereka adalah Sa’ad bin Abi Waqqash Radhiyallahu ‘anhu. Hal ini, karena Umar Radhiyallahu ‘anhu khawatir timbul prasangka, bahwa penghentiannya atas Sa’ad bin Abi Waqqash Radhiyallahu ‘anhu -dari jabatan Gubernur- disebabkan ketidakmampuannya dalam memimpin sebuah wilayah. Dan Umar Radhiyallahu ‘anhu ingin menghilangkan anggapan itu dengan berkata:

فَإِنْ أَصَابَتْ الإِمْـرَةُ سَعْداً فَهُوَ ذَاكَ، وَإِلاَّ فَلْـيَسْـتَعِنْ بِهِ أَيُّـكُمْ مَا أُمِّـرَ، فَإِنِّي لَمْ أَعْـزِلْهُ عَنْ عَجْـزٍ وَلاَ خِيَانَةٍ

“Jika kekuasaan ini terjatuh pada Sa’ad, maka itu memang haknya. Dan jika tidak, maka hendaknya salah seorang dari kalian meminta bantuannya, kerena sesungguhnya aku tidak menghentikannya dengan sebab kelemahan dan pengkhianatan”. [Diriwayatkan al Bukhari, 3700].

Dan terdapat di dalam Shahih Muslim (1825) dari Abu Dzar z , ia berkata:

قُلْتُ: يَا رَسُوْلَ اللهِ، أَلاَ تَسْـتَـعْمِلُنِي؟ قَالَ: فَضَرَبَ بِيَدِهِ عَلَى مَنْكِبِيْ، ثُمَّ قَالَ: يَا أَبَا ذَرٍّ، إِنَّـكَ ضَـعِيْفٌ، وَإِنَّـهَا أَمَانَـةٌ، وَإِنَّـهَا يَوْمَ القِـيَامَةِ خِزْيٌ وَنَدَامَةٌ، إِلاَّ مَنْ أَخَذَهَا بِحَـقِّهَا، وَأَدَّى الَّذِي عَلَـيْهِ فِيْهَا .

“Wahai Rasulullah, tidakkah engkau menjadikanku (seorang pemimpin)?” Lalu Rasulullah memukulkan tangannya di bahuku, dan bersabda,”Wahai, Abu Dzar. Sesungguhnya engkau lemah, dan sesungguhnya hal ini adalah amanah, dan ia merupakan kehinaan dan penyesalan pada hari kiamat, kecuali orang yang mengambilnya dengan haknya, dan menunaikannya (dengan sebaik-baiknya)”.

Terdapat pula di dalam Shahih Muslim, 1826, dari Abu Dzar, sesungguhnya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

يَا أَبَا ذَرٍّ، إِنِّي أَرَاكَ ضَـعِـيْفاً، وَإِنِّي أُحِبُّ لَكَ مَا أُحِبُّ لِـنَـفْسِيْ، لاَ تَـأَمَّـرَنَّ عَلَى اثْـنَـيْنِ، وَلاَ تَوَلَّـيَنَّ مَالَ يَـتِـيْمٍ .

“Wahai, Abu Dzar. Sesungguhnya aku memandangmu orang yang lemah, sedangkan aku mencintai untukmu seperti aku mencintai untuk diriku. Janganlah kamu menjadi pemimpin (walaupun terhadap) dua orang (saja), dan janganlah kamu mengatur harta (anak) yatim”.[21]

Mudah-mudahan Allah l senantiasa menjadikan kita sebagai orang-orang yang jujur, amanah, dan menjauhkan kita semua dari kelemahan, kedustaan, dan khianat. Hanya Allah sajalah Maha Pemberi taufiq. Wallahu a’lam bish shawab.

Maraji’ & Mashadir:
1. Al Qur`an dan Terjemahnya, Cetakan Mujamma’ Malik Fahd, Saudi Arabia.
2. Shahih al Bukhari, tahqiq Musthafa Dib al Bugha, Daar Ibni Katsir, al Yamamah, Beirut, Cet. III, Th. 1407 H/1987 M.
3. Shahih Muslim, tahqiq Muhammad Fuad Abdul Baqi, Daar Ihya at Turats, Beirut.
4. Sunan Abi Daud, tahqiq Muhammad Muhyiddin Abdul Hamid, Daar al Fikr.
5. Jami’ at Tirmidzi, tahqiq Ahmad Muhammad Syakir dkk, Daar Ihya at Turats, Beirut.
6. Musnad al Imam Ahmad, Mu’assasah Qurthubah, Mesir.
7. An Nihayah Fi Gharib al Hadits wa al Atsar karya Ibnu al Atsir (544-606 H), tahqiq Khalil Ma’mun Syiha, Daar al Ma’rifah, Beirut-Libanon, Cet. I, Th 1422 H/ 2001 M.
8. Al Kaba-ir, karya adz Dzahabi (673-748 H), tahqiq Abu ‘Ubaidah Masyhur bin Hasan Alu Salman, Maktabah al Furqan, ‘Ajman, Uni Emirat Arab, Cet. II, Th. 1424 H/ 2003 M.
9. Ighatsatul Lahfaan fi Mashayid asy Syaithan, karya Ibnul (691-751 H), takhrij Muhammad Nashiruddin al Albani (1332-1420 H), tahqiq Ali bin Hasan bin Ali bin Abdul Hamid al Halabi al Atsari, Daar Ibn al Jauzi, Dammam, KSA, Cet. I, Th. 1424 H.
10. Fawa-id al Fawa-id, Syamsuddin Ibnu Qayyim al Jauziyah (751 H), tartib dan takhrij Ali bin Hasan bin Ali bin Abdul Hamid al Halabi al Atsari, Daar Ibn al Jauzi, Dammam, KSA, Cet. V, Th. 1422 H.
11. Zaadul Ma’ad, karya Ibnul Qayyim, tahqiq Syu’aib Al Arna’uth dan Abdul Qadir Al Arna’uth, Mu’assasah ar Risalah, Beirut, Libanon, cet III, th 1423 H/2002 M.
12. Tafsir Ibnu Katsir (Tasir Al Qur’an Al ‘Azhim), karya Ibnu Katsir (700-774 H), tahqiq Sami bin Muhammad as Salamah, Daar ath Thayibah, Riyadh, Cet. I, Th. 1422 H/ 2002 M.
13. Jami’ al Ulum wa al Hikam fi Syarhi Khamsina Haditsan min Jawami’ al Kalim, karya Ibnu Rajab al Hanbali (736-795 H), tahqiq Syu’aib Al Arna-uth dan Ibrahim Bajis, Mu’assasah ar Risalah, Beirut, Libanon, Cet. VII, Th. 1422 H/ 2001 M.
14. Tuhfatul Ahwadzi Syarh Sunan at Tirmidzi, karya al Mubarakfuri (1283-1353 H), Daar al Kutub al Ilmiah, Beirut.
15. Shahih Sunan Abi Daud, karya al Albani (1332-1420 H), Maktabah Al Ma’arif, Riyadh.
16. Shahih Sunan at Tirmidzi, karya al Albani (1332-1420 H), Maktabah al Ma’arif, Riyadh.
17. Shahih al Jami’ ash Shaghir, karya al Albani (1332-1420 H), Al Maktab al Islami.
18. As Silsilah as Shahihah, karya al Albani (1332-1420 H), Maktabah al Ma’arif, Riyadh.
19. Irwa-ul Ghalil fi Takhriji Ahaditsi Manar as Sabil, karya al Albani (1332-1420 H), al Maktab al Islami, Beirut, Cet. II, Th. 1405 H/ 1985 M.
20. Shahih at Targhib wa at Tarhib, karya al Albani (1332-1420 H), Maktabah al Ma’arif, Riyadh, Cet. I, Th. 1421 H/ 2000 M.
21. Kaifa yu-addi al Muwazhzhaf al Amanah, Abdul Muhsin bin Hamd al ‘Abbad al Badr, ad Daar al Haditsah, Mesir, Cet. I. Th. 1425 H/ 2004 M.
22. Bahjatun Nazhirin Syarhu Riyadh ash Shalihin, Salim bin ‘Id al Hilali, Daar Ibn al Jauzi, Dammam, KSA, Cet. VI, Th. 1422 H.

[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 05/Tahun X/1427H/2006M. Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-761016]
________
Footnote
[1]. Fawa-id al Fawa-id, hlm. 193-195, dan 215-231.
[2]. An Nihayah fi Gharib al Hadits wa al Atsar (1/80).
[3]. Tafsir al Qur’an al ‘Azhim (6/488-489).
[4]. Tuhfatul Ahwadzi Syarh Jami’ at Tirmidzi (4/400).
[5]. Lihat ta’liq (komentar) beliau dalam kitab al Kabair, hlm. 282.
[6]. Bahjatun Nazhirin Syarhu Riyadh ash Shalihin (1/288).
[7]. Dari khuthbah Jum’at yang beliau sampaikan di Masjid Nabawi, al Madinah an Nabawiyah, KSA, pada tanggal 13 Rabi’ul Awwal 1426 H, yang bertema ‘Izhamu Qadril Amanah (Agungnya Kedudukan Amanah).
[8]. Berkaitan dengan hadits yang dibawakan oleh al Hafizh Ibnu Katsir t di dalam kitab tafsirnya (2/339) ini, pentahqiq Sami bin Muhammad as Salamah berkata: “Saya tidak mendapatkan hadits ini diriwayatkan dari jalan Samurah Radhiyallahu ‘anhu, akan tetapi hadits ini diriwayatkan oleh:
1. Imam Ahmad di dalam Musnadnya (3/414), dari seseorang, dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam .
2. At Tirmidzi di dalam Sunannya nomor (1264), dan Abu Dawud di dalam Sunannya nomor (3535), dari jalan Thalq bin Ghannam, dari Syarik dan Qais, dari Abu Hushain, dari Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu. Dan at Tirmidzi berkata,”Hadits hasan Gharib”. Dan Abu Hatim berkata,”Hadits munkar, tidak ada yang meriwayatkan hadits ini melainkan Thalq saja”. (Lihat al ‘Ilal (1/375). Lebih lanjut lihat catatan kaki pentahqiq kitab tafsir Ibnu Katsir tersebut.
[9]. Lihat pula risalah Kaifa yu-addi al Muwazhzhaf al Amanah, hlm. 4-5.
[10]. Tafsir al Qur’an al ‘Azhim (4/41).
[11]. Tafsir al Qur’an al ‘Azhim (6/489).
[12]. Muttafaq ‘alaih, lihat takhrij ringkasnya pada footnote nomor 17.
[13]. HR Abu Dawud (3/290 no. 3535), at Tirmidzi (3/564 no. 1264), dan lain-lain. Hadits ini dishahihkan oleh asy Syaikh al Albani -rahimahullah- di dalam Shahih Sunan Abi Dawud, Shahih Sunan at Tirmidzi, Shahih al Jami’ (240), as Silsilah ash Shahihah (1/783 no. 423-424), dan Irwa-ul Ghalil (5/381 no. 1544).
[14]. Tuhfatul Ahwadzi Syarh Jami’ at Tirmidzi (4/400).
[15]. al Kabair, hlm. 282.
[16]. HR al Bukhari (1/33 no. 59) dan (5/2382 no. 6131), Ahmad (2/361 no. 8714), dan lain-lain.
[17]. HR al Bukhari (1/21 no. 33, 2/952 no. 2536, 3/1010 no. 2598, 5/2262 no. 5744), Muslim (1/78 no. 59), dan lain-lain.
[18]. HR Ahmad (3/135, 154, 210, 251), dan lain-lain. Hadits ini dishahihkan oleh asy Syaikh al Albani t di dalam Shahih al Jami’ (7179), Shahih at Targhib wa at Tarhib (3/156 no. 3004), dan lain-lain. Lihat pula takhrij asy Syaikh Masyhur bin Hasan Alu Salman -hafizhahullah- terhadap hadits ini dalam kitab al Kabair, hlm. 280-282.
[19]. Lihat ta’liq (komentar) beliau terhadap hadits ini dalam kitab al Kabair, hlm. 282.
[20]. HR Ahmad (2/199 no. 6872), dan lain-lain. Hadits ini dishahihkan oleh asy Syaikh al Albani t di dalam as Silsilah ash Shahihah (5/360).
[21]. Lihat risalah beliau yang berjudul Kaifa yu-addi al Muwazhzhaf al Amanah, hlm. 13-15.

Perhatian Syaikh Al-Albani Terhadap Masalah Remaja

PERHATIAN SYAIKH AL-ALBANI TERHADAP MASALAH REMAJA

Generasi muda memang tiang penyangga suatu bangsa. Ketika para remaja terbina dengan tekun, berjiwa sholeh, dan berkepribadian baik, maka suatu bangsa akan merasakan betapa besar kekuatan dan ketahanannya. Dan sebaliknya, bila pembinaan generasi muda terbengkalai, mereka terlupakan, maka setidaknya, masyarakat tidak dapat mengambil manfaat dari keberadaan mereka ini. Bahkan bisa menjadi sampah masyarakat yang sangat mengganggu ketentraman dan keamanaan.

Berdasarkan riwayat-riwayat dalam hadits, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam sangat memperhatikan keberadaan para pemuda Islam zaman itu. Di antaranya yang sangat relevan dengan kekinian, pesan beliau agar para pemuda yang sudah mampu untuk menikah. Dan bila belum sanggup melakukannya, puasa menjadi pengganti.

Beliau juga telah mewanti-wanti agar masa remaja tidak disia-siakan. Beliau memerintahkan supaya masa keemasan ini dimanfaatkan dengan sebaik-baiknya.

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

اغْتَنِمْ خَمْساً قَبْلَ خَمْسٍ ……وَشَبَابَكَ قَبْلَ هَرَمِكَ

“Manfaatkan lima perkara sebelum datang lima perkara (lainnya). (Salah satunya)… (Manfaatkan) masa remajamu sebelum dating masa tua…” [1]

Pendek kata, masa remaja adalah masa paling besar produktifitasnya. Melalui masa ini, seorang Muslim akan membangun kepribadian guna mengarungi kehidupan nyata.

Dari sinilah, para ulama ditunggu peran mereka untuk menggodok pemuda Muslim. Sehingga terbentuk generasi Islam yang berilmu, shaleh dan berkemampuan kuat untuk mengambil peran positif di tengah masyarakat.

PERHATIAN SYAIKH AL-ALBANI RAHIMAHULLAH TERHADAP MASALAH REMAJA
Syaikh al-Albâni rahimahullah (wafat tahun 1420 H), pemuka ulama hadits abad ini, juga memberikan perhatian besar terhadap para pemuda. Dikatakan oleh Syaikh DR. ‘Abdul ‘Aziz as-Sadhan bahwa banyak momen penting yang beliau lalui bersama para remaja. Di sini, akan ditampilkan bagaimana kesabaran beliau dalam meladeni kaum muda yang telah terkena virus takfir (mudah mengkafirkan orang), mematahkan syubhat-syubhat (kerancuan landasan pemikiran) mereka. Berikut ini kisahnya:

Syaikh Dr. Basim Faishal al-Jawabirah hafizhahullah mulai berkisah:
“…Saat itu aku masih belajar di jenjang SMA. Bersama beberapa pemuda, kami mengkafirkan kaum muslimin dan enggan mendirikan sholat di masjid-masjid umum. Alasan kami, karena mereka adalah masyakarat jahiliyah. Orang-orang yang menentang kami, selalu saja menyebut-nyebut nama Syaikh al-Albâni rahimahullah, satu-satunya orang yang mereka anggap sanggup berdialog dengan kami dan mampu melegakan kami dengan argumen-argumen tajamnya serta mengembalikan kami ke jalan yang lurus.

Ketika Syaikh datang ke Yordania dari Damaskus, beliau diberitahu adanya sekelompok pemuda yang seringkali mengkafirkan kaum muslimin. Lantas mengutus saudara iparnya, Nizhâm Sakkajha – kepada kami untuk menyampaikan keinginan beliau untuk berjumpa dengan kami.

Dengan tegas kami jawab: “Siapa yang ingin berjumpa dengan kami, ya harus datang, bukan kami yang datang kepadanya”.

Akan tetapi, Syaikh panutan kami dalam takfir memberitahukan bahwa al-Albâni rahimahullah termasuk ulama besar Islam, ilmunya dalam dan sudah berusia tua. Ia pun mengarahkan supaya kami lah yang mendatangi beliau.

Lantas kami pun mendatangi beliau di rumah iparnya, Nizhâm , menjelang sholat Isya. Tak berapa lama, salah seorang dari kami mengumandangkan adzan. Setelah iqamah, Syaikh al-Albâni rahimahullah berkata:

“Kami yang menjadi imam atau imam sholat dari kalian?”.

Syaikh kami dalam takfir berujar:

“Kami meyakini Anda seorang kafir”

Syaih al-Albâni rahimahullah menjawab: “Kami masih yakin kalian orang-orang beriman (kaum Muslimin)”.

Syaikh kami akhirnya memimpin sholat. Usai sholat, Syaikh al-Albâni rahimahullah duduk bersila melayani diskusi dengan kami sampai larut malam. Syaikh kami lah yang berdialog dengan Syaikh al-Albâni rahimahullah. Sedangkan kami dalam rentang waktu yang lama itu, sesekali berdiri, duduk lagi, merentangkan kaki dan berbaring. Anehnya, kami lihat Syaikh al-Albâni rahimahullah tetap dalam posisi awalnya, tidak berubah sedikit pun, meladeni argumen beberapa orang. Saat itu, aku benar-benar takjub dengan kesabaran dan ketahanan beliau!!

Kemudian, kami masih mengikat janji untuk berjumpa lagi dengan beliau keesokan hari. Sepulangnya kami ke rumah, kami mengumpulkan dalil-dalil yang menurut kami mendukung takfir yang selama ini kami lakukan. Syaikh al-Albâni rahimahullah hadir di salah satu rumah teman kami. Persiapan buku dan bantahan terhadap Syaikh al-Albâni rahimahullah telah kami sediakan. Pada kesempatan kedua ini, dialog berlangsung setelah sholat Isya` sampai menjelang fajar menyingsing.

Perjumpaan ketiga berlangsung di rumah Syaikh al-Albâni rahimahullah. Kami berangkat ke rumah beliau setelah Isya. Dialog pada hari ketiga ini berlangsung sampai adzan Subuh berkumandang. Kami mengemukakan banyak ayat yang memuat penetapan takfir secara eksplisit. Begitu pula, hadits-hadits yang mengandung muatan sama yang menetapkan kekufuran orang yang berbuat dosa besar. Setiap kali menghadapi argumen-argumen itu, Syaikh al-Albâni rahimahullah dapat mematahkannya dan justru ‘menyerang’ balik dengan membawakan dalil yang lain. Setelah itu, beliau mengakomodasikan dalil-dalil yang tampaknya saling bertolak belakang itu, menguatkannya dengan keterangan para ulama Salaf dan tokoh-tokoh umat Islam terkemuka di kalangan Ahlus Sunnah wal jawamah.

Begitu adzan Subuh terdengar, sebagian besar dari kami bergegas bersama Syaikh al-Albâni rahimahullah menuju masjid untuk menunaikan sholat Subuh. Kami telah merasa puas dengan jawaban Syaikh al-Albâni rahimahullah tentang kesalahan dan kepincangan pemikiran yang sebelumnya kami pegangi. Dan saat itu juga kami melepaskan pemikiran-pemikiran takfir tersebut, alhamdulillah. Hanya saja, ada beberapa gelintir dari kawan kami yang tetap menolaknya. Beberapa tahun kemudian, kami mendapati mereka murtad dari Islam. Semoga Allah Azza wa Jalla memberikan kepada keselamatan”

Semoga Allah Azza wa Jalla memberikan kemudahan bagi kita sekalian untuk mengambil pelajaran dari sejarah ulama Islam.

Diadaptasi dari al-Imâm al-Albâni, Durûs Wa Mawâqif Wa ‘Ibar hal
Syaikh ‘Abdul ‘Azîz bin Muhammad bin ‘Abdullah as-Sadhân Dârut Tauhîd Riyadh Cet I, Th 1429H-2008M, hal155-158

[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 11/Tahun XII/1430H/2009M. Penerbit Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo-Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-761016]
_______
Footnote
[1]. HR. al-Hâkim dan al-Baihaqi dan dishahihkan oleh al-Albâni. Shahîhul Jâmi’ no. 1077

Jalan Menuju Kemulian Akhlaq

JALAN MENUJU KEMULIAN AKHLAQ

Oleh
Ustadz Fariq bin Gasim Anuz

Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

كَمَآأَرْسَلْنَا فِيكُمْ رَسُولاً مِّنكُمْ يَتْلُوا عَلَيْكُمْ ءَايَاتِنَا وَيُزَكِّيكُمْ وَيُعَلِّمُكُمُ الْكِتَابَ وَالْحِكْمَةَ وَيُعَلِّمُكُم مَّالَمْ تَكُونُوا تَعْلَمُونَ

“Sebagaimana (Kami telah menyempurnakan nikmat atas kalian) Kami telah mengutus kepadamu Rasul di antara kamu, yang membacakan ayat-ayat Kami kepada kamu, dan menyucikan kamu, dan mengajarkan kepadamu Al-Kitab (Al-Qur’an) dan Al-Hikmah (As-Sunnah), serta mengajarkan kepada kamu apa yang belum kamu ketahui”. [al-Baqarah: 151]

Al-Imam Ibnu Katsir rahimahullah berkata: “Wayuzakkihim” (dan menyucikan kamu), yaitu menyucikan mereka dari akhlaq yang rendah, dari kotoran jiwa dan dari perbuatan jahiliah, serta mengeluarkan mereka dari kegelapan kepada cahaya. [Tafsir Al-Qur’an Al’-‘Azhim I/291]

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

إِنَّمَا بُعِثْتُ ِلأُتَمِّمَ مَكَارِمَ اْلأََخْلاَقِ

“Sesungguhnya aku diutus untuk menyempurnakan akhlaq yang mulia”. [HR. Ahmad, Hakim, dll]

Imam Hakim menshahihkan hadits tersebut atas syarat Muslim dan disepakati oleh Imam Adz-Dzahabi dan dishahihkan pula oleh Syaikh Al-Albani dalam Silsilah Ahadits Shahihah no. 45

Syaikh Musthafa Al-Adawi berkata: bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam berdakwah menuju tauhid (Yang merupakan prioritas utama) dan bersamaan dengan itu beliaupun berdakwah menuju akhlaq yang mulia.

Bahkan bisa dikatakan bahwa akhlaq yang mulia merupakan buah dari tauhid dan keimanan seseorang.

Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Albani rahimahullah menyebutkan tentang pentingnya para da’i untuk menyampaikan akhlaq yang mulia kepada masyarakat, setelah sebelumnya beliau menyebutkan bahwa prioritas utama dalam dakwah para rasul adalah dakwah menuju tauhid. Beliau berkata: “Saya mengulangi peringatan ini, yaitu dalam pembicaraan tentang penjelasan yang terpenting kemudian yang penting kemudian yang ada di bawahnya, bukan bermaksud agar para da’i membatasi untuk semata-mata mendakwahkan kalimat Thayyibah (Laa ilaaha illa Allah) saja dan memahamkan maknanya saja. Karena setelah Allah menyempurnakan nikmatNya kepada kita dengan menyempurnakan dienNya, maka merupakan suatu keharusan bagi para da’i untuk membawa Islam ini secara keseluruhan, tidak sepotong-sepotong”[1].

Risalah ini hanya memuat rambu-rambu akhlaq yang baik, dimulai dari Pengertian akhlaq; Hubungan antara akhlaq, aqidah dan iman; Keutamaan akhlaq yang baik; dan terakhir mengenai Cara memproleh akhlaq yang baik. Sebenarnya masih ada lagi rambu-rambu yang penting untuk dibahas, seperti: Barometer akhlaq yang baik; Syarat akhlaq yang baik; Akhlaq orang-orang kafir, dan lain-lainnya. Hanya saja perlu waktu yang lebih lama lagi untuk mengumpulkan dan tentunya yang lebih sulit adalah mencarinya dari pada ulama’, penuntut ilmu dan kitab-kitab.

Meskipun belum maksimal, kami berharap agar risalah ini banyak memberikan manfaat untuk kita semua, dan sebagai perbaikan untuk diri sendiri dan masyarakat. Yang aku inginkan hanyalah perbaikan sesuai dengan kesanggupanku, dan tidak ada taufik bagiku kecuali dengan pertolongan Allah Subhanahu wa Ta’ala. Hanya kepada Allah aku bertawakkal, dan hanya kepadaNya aku akan kembali.

JALAN MENUJU KEUTAMAAN AKHLAQ
1. Pengertian Akhlaq Dan Macam-Macamnya
Ibnul Atsir berkata dalam An-Nihayah 2/70: “Al-Khuluq dan Al-Khulq berarti dien, tabiat dan sifat. Hakekatnya adalah potret manusia dalam bathin, yaitu jiwa dan kepribadiannya” [2]

Manusia terdiri dari lahir dan bathin, jasmani dan rohani, oleh karena itu kita tidak boleh memperlakukan manusia seperti robot atau benda mati yang tidak mempunyai perasaan. Di samping itu kita harus mempunyai perhatian yang serius guna menyempurnakan akhlaq kita, karena nilai manusia bukanlah terletak pada bentuk fisik, suku, keturunan, gelar, kedudukan ataupun harta, akan tetapi terletak pada iman, taqwa dan akhlaqnya.

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

إِنَّ اللَّهَ لاَ يَنْظُرُ إِلَى صُوَرِكُمْ وَأَمْوَالِكُمْ وَلَكِنْ يَنْظُرُ إِلَى قُلُوْبِكُمْ وَأَعْمَالِكُمْ

“Sesungguhnya Allah tidak melihat kepada bentuk, rupa dan harta benda kalian, tetapi Allah memperhatikan hati dan amal-amal kalian”. [HR. Muslim. lih. Ghayatul Maram no. 415]

Seorang penyair Arab berkata:
يَا خَادِمَ الْجِسْمِ كَمْ تَسْعَى لِخِدْمَتِهِ
أَتْعَبَتْكَ نَفْسُكَ فِيْمَا فِيْهِ خُسْرَانٌ
أَقْبِلْ عَلَى الرُّوْحِ وَ اسْتَكْمِلْ فَضَائِلَهَا
فَإِنَّكَ بِالرُّوْحِ لاَ بِالْجِسْمِ إِنْسَانٌ

Wahai pelayan jasmani
Berapa lama engkau bekerja untuk kepentingannya
Engkau telah menyusahkan diri
Untuk sebuah kerugian yang nyata
Hadapkan perhatian kepada ruhani
Dan sempurnakan keutamaannya
Dengan ruhani, bukan dengan jasmani
Engkau sempurna menjadi manusia

Di antara ulama ada yang mendifinisikan akhlaq yang baik kepada sesama makhluq [3] dengan: Tidak menyakiti orang lain, berderma dan bermuka manis. [4] Tidak menyakiti orang lain, yaitu baik menyakiti fisik, harta maupun kehormatannya.

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

فَإِنَّ دِمَاءَكُمْ وَأَمْوَالَكُمْ وَأَعْرَاضَكُمْ بَيْنَكُمْ حَرَامٌ

“Sesungguhnya darah-darah kalian, harta-benda dan kehormatan kalian adalah haram atas kalian”. [HR. Bukhari dan Muslim]

Menyakiti orang lain itu dapat dengan lisan, seperti: menggunjing, mengadu-domba, memperolok-olok, menuduh dengan tuduhan dusta, saksi palsu, dan lain-lain. Dapat juga menyakiti dengan perbuatan, seperti: mengambil harta, menipu, berkhianat, merampas, mencuri, memukul, membunuh, memperkosa, korupsi, memakan harta anak yatim, menahan hak orang lain, dan lain-lain.

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

المُسْلِمُ مَنْ سَلِمَ الْمُسْلِمُوْنَ مِنْ لِسَانِهِ وَ يَدِهِ

“Seorang muslim adalah orang yang kaum muslimin yang lain selamat dari gangguan lisan dan tangannya”. [HR. Bukhari]

Jadi seorang muslim tidak menyakiti orang lain dengan lisan dan perbuatannya.
Bahkan seorang muslim itu suka berderma dengan membantu orang lain, baik bantuan itu berupa harta, saran, ilmu, tenaga, pikiran, pengaruh dan lain sebagainya.

Yang ketiga adalah bermanis muka. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

لاَ تَحْقِرَنَّ مِنَ الْمَعْرُوفِ شَيْئًا وَلَوْ أَنْ تَلْقَى أَخَاكَ بِوَجْهٍ طَلْقٍ

“Janganlah engkau menganggap remeh perbuatan baik sedikit pun, meskipun engkau berjumpa saudaramu dengan wajah berseri-seri” [HR. Muslim]

Dikatakan, bahwa Ibnu Abbas Radhiyallahu ‘anhuma pernah ditanya tentang kebaikan, maka beliau menjawab: “Wajah berseri-seri dan bertutur kata yang halus”. Seorang penyair merangkaikannya dalam sebuah syair:

بُنَيَّ إِنَّ الْبِرَّ شيْءٌ هيِّنٌ
وَجْهٌ طَلِيْقٌ وَ لِسَانٌ لَيِّنٌ
Wahai anakku, sesungguhnya kebaikan itu suatu yang mudah,
Wajah yang berseri-seri dan tutur kata yang halus

Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin rahimahullah berkata: “Bermuka manis adalah wajah yang berseri-seri ketika berjumpa dengan orang lain, sedangkan lawannya adalah bermuka masam”. Kemudian beliau menyebutkan hadits, perkataan Ibnu Abbas Radhiyallahu ‘anhu dan syair sebagaimana kami sebutkan di atas, lalu berkata: “Wajah yang berseri-seri dapat membuat orang menjadi senang, dapat merekatkan kasih sayang dan dapat pula menjadikan dirimu dan orang yang kamu jumpai menjadi berlapang dada. Tetapi jika engkau bermuka masam, maka orang lain akan menjauhimu, tidak merasa nyaman duduk bersamamu, apalagi untuk berbincang-bincang denganmu.

Orang yang tertimpa penyakit berbahaya, yaitu depresi (tekanan jiwa), dapat sembuh dengan resep yang sangat ampuh, yaitu berlapang dada dan wajah yang berseri-seri. Oleh karena itu para dokter menasehati orang-orang yang tertimpa penyakit depresi untuk menghindari hal-hal yang membuatnya marah atau emosi, karena hal tersebut akan memperparah penyakitnya. Adapun lapang dada dan wajah yang berseri-seri dapat menghilangkan penyakit tersebut, sehingga ia akan dicintai dan dihormati oleh orang lain.” [Makarimul Akhlaq, hal: 29-30]

Tetapi tidak selamanya bermanis muka itu positif, adakalanya dalam kondisi tertentu kita dituntut untuk bermuka masam. [Fotenote, hal: 155-156]

Ada juga pendapat-pendapat lain tentang definisi akhlaq, ada yang mengatakan bahwa akhlaq yang baik adalah berderma, tidak menyakiti orang lain dan tabah dalam menerima cobaan.

Ada yang mengatakan bahwa akhlaq yang baik adalah berbuat kebaikan dan menahan diri dari keburukan.

Ada lagi yang mengatakan: “Membuang sifat-sifat yang hina dan menghiasinya dengan sifat-sifat yang mulia”, ini disebutkan oleh Ibnul Qayyim Al-Jauziyah dalam kitabnya Madarijus Saalikin.

HUBUNGAN ANTARA AKHLAQ, AQIDAH DAN IMAN
Sesungguhnya antara akhlaq, aqidah dan iman itu terdapat hubungan yang sangat kuat sekali, karena akhlaq yang baik itu sebagai bukti dari keimanan yang kuat, sedangkan akhlaq yang buruk sebagai bukti dari iman yang lemah. Semakin sempurna akhlaq seorang muslim berarti semakin kuat imannya. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

أَكْمَلُ الْمُؤْمِنِينَ إِيمَانًا أَحْسَنُهُمْ خُلُقًا

“Kaum mukmin yang paling sempurna imannya adalah yang paling baik akhlaqnya di antara mereka”. [HR. Tirmidzi 3/315 dan dishahihkan oleh Syaikh Al-Albani dalam Shahih Jami’us Shagir I/266-267]

Akhlaq yang baik adalah bagian dari amal shalih yang dapat menambah keimanan dan memiliki bobot dalam timbangan, pemiliknya sangat dicintai oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Demikian pula akhlaq yang baik merupakan salah satu sarana seseorang masuk dalam syurga. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

مَا شَيْءٌ أَثْقَلُ فِي مِيزَانِ الْمُؤْمِنِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ مِنْ خُلُقٍ حَسَنٍ
T
“idak ada sesuatupun yang lebih berat dalam timbangan (amalan) seorang mukmin pada hari kiamat daripada akhlaq yang mulia” [HR. Tirmidzi dan Abu Daud dan di hasankan oleh Syaikh Al-Albani dalam Shahih Tirmidzi 2/194]

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

إِنَّ مِنْ أَحَبِّكُمْ إِلَيَّ وَأَقْرَبِكُمْ مِنِّي مَجْلِسًا يَوْمَ الْقِيَامَةِ أَحَاسِنُكُمْ أَخْلَاقًا

“Sesungguhnya di antara orang yang paling aku cintai di antara kalian, dan paling dekat majelisnya denganku di hari kiamat adalah yang paling baik akhlaqnya di antara kalian”. [HR. Tirmidzi dan di hasankan oleh Syaikh Al-Albani dalam Shahih Jami’us Shaghir 1/439]

Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah ditanya tentang sebab terbanyak yang memasukkan manusia ke dalam syurga, maka beliau menjawab:

تَقْوَى اللَّهِ وَحُسْنُ الْخُلُقِ

“Taqwa kepada Allah dan akhlaq yang baik.” [HR. Tirmidzi dan di hasankan oleh Syaikh Al-Albani dalam Shahih Tirmidzi 2/194]

Akhlaq yang baik mencakup pelaksanaan hak-hak Allah dan hak-hak makhluk.

Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin rahimahullah berkata: “Kebanyakan orang memahami bahwa akhlaq yang baik itu khusus mu’amalahnya seorang hamba dengan sesamanya, tidak ada hubungannya dengan mu’amalah dengan Al-Khaliq, tetapi ini adalah pemahaman yang dangkal. Akhlak yang baik mencakup mu’amalah dengan sesama makhluq dan juga mu’amalah seorang hamba dengan Allah. Ini harus dipahami oleh kita semua. Akhlaq yang baik dalam bermuamalah dengan Allah mencakup tiga perkara:

1. Membenarkan berita-berita yang datang dari Allah
2. Melaksanakan hukum-hukumNya
3. Sabar dan ridha kepada takdirNya”
[Dinukil dari Makarimul Akhlaq, hal: 16]

Dr. Abdullah bin Dhaifullah Ar-Ruhaili berkata: “Sesungguhnya hak Allah yang menjadi kewajiban atas seorang manusia adalah hak yang paling besar, demikian pula adab terhadap Allah adalah kewajiban yang paling wajib. Karena Dia adalah Maha Pencipta tidak ada sekutu bagiNya, sedangkan selainNya adalah makhluq, maka tidaklah sama antara hak makhluq dibandingkan dengan hak Allah. Begitu pula adab manusia terhadap Allah tidaklah sama dengan adab manusia kepada sesamanya. Karena Allah itu Pencipta dan tidak ada sekutu bagiNya, maka wajiblah atas seorang manusia untuk mentauhidkanNya, bersyukur dan beradab kepadaNya sesuai dengan apa yang telah digariskan.

Adapun pokok-pokok mu’amalah manusia dengan Allah secara ringkas adalah sebagai berikut:
Beriman kepadaNya dengan mantap, mentauhidkanNya dalam nama-nama, sifat-sifatNya dan mentauhidkanNya dengan beribadah, selalu taat kepadaNya dan menjauhi maksiat, baik di kala sendirian atau ketika disaksikan orang lain, secara rahasia ataupun terang-terangan, baik dalam keadaan sulit maupun mudah. Mengagungkan syiar-syiar Allah dan aturanNya, serta tunduk kepada syari’atNya, menghormati kitabNya dan sunnah-sunnah NabiNya Shallallahu ‘alaihi wa sallam, beradab kepada keduanya dan menerima keduanya dan memahami dan mengamalkannya dengan benar tanpa berlebihan dan tanpa menganggap enteng, memberikan perhatian penuh kepada dienNya dalam hal pemahaman, keimanan dan pengamalan. Mengagungkan Allah dan mensucikanNya dari segala kekurangan, mensifatiNya dengan apa yang Allah sifatkan dalam kitabNya dan melalui lisan RasulNya Shallallahu ‘alaihi wa sallam, ridha kepada Allah dan takdirNya, mencintaiNya lebih dari yang lain, selalu berdzikir dan bersyukur kepadaNya, memperbaiki ibadah kepadaNya, berbuat baik kepada hamba-hambaNya, tidak berbuat zhalim kepada mereka dan berprasangka baik kepadaNya.” [Dinukil dari kitab “Al-Akhlaq Al-Fadhilah Qawaa’id wa Munthalaqat Liktisabiha” hal. 86-87]

Sebagian manusia ada yang berpendapat bahwa dien Islam ini adalah semata-mata pergaulan yang baik kepada manusia, sehingga merugikan manusia adalah kejahatan terbesar. Kemudian terlihat secara zhahir, dia berperilaku baik kepada orang lain, tetapi pada saat yang sama dia menyia-nyiakan hak-hak Allah, dengan berbuat syirik, kufur, bid’ah, dan maksiat lainnya. Dia berdo’a kepada selain Allah, menyembelih hewan untuk dijadikan sebagai tumbal, menyia-nyiakan sholat.

Ketika orang tersebut ditegur, ia akan mengatakan bahwa ini adalah urusan pribadi, dan orang yang berhak untuk ditegur adalah orang yang menyakiti tetangga, mengambil hak orang lain, korupsi dan lain sebagainya. Tidakkah ia tahu bahwa dosa syirik adalah sebesar-besar dosa besar, dan Allah tidak akan mengampuninya kecuali jika si pelaku bertaubat. Allah berfirman:

إِنَّ اللهَ لاَ يَغْفِرُ أَن يُشْرَكَ بِهِ وَيَغْفِرُ مَادُونَ ذَلِكَ لِمَن يَشَآءُ

“Sesungguhnya Allah tidak mengampuni dosa mempersekutukan (sesuatu) dengan Dia, Dan Dia akan mengampuni dosa yang lain dari syirik itu bagi siapa yang dikehendaki-Nya”. [an-Nisa’ : 116]

Di sisi lain terdapat juga sebuah fenomena, adanya sebagian orang yang meremehkan masalah akhlaq kepada sesama makhluq dengan sangkaan bahwa dien itu semata-mata menunaikan hak Allah tanpa menunaikan hak makhluq. Padahal sesungguhnya menunaikan hak manusia adalah bagian dari menunaikan hak Allah Subhanahu wa Ta’ala. Juga telah disinggung sebelumnya bahwa terdapat hubungan yang erat antara keimanan kepada Allah dengan akhlaq kepada sesama makhluq. Rasulullah bersabda:

أَكْمَلُ الْمُؤْمِنِينَ إِيمَانًا أَحْسَنُهُمْ خُلُقًا

“Kaum mukmin yang paling sempurna imannya adalah yang paling akhlaqnya di antara mereka”. [HR. Tirmidzi 3/315 dan dishahihkan oleh Syaikh Al-Albani dalam Shahih Jami’us Shagir I/266-267]

Dan sabda beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam.

مَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ فَلْيَقُلْ خَيْرًا أَوْ لِيَصْمُتْ

“Barangsiapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir maka hendaklah ia berkata baik atau (kalau tidak bisa) hendaklah diam”. [HR. Bukhari]

Dan sabda beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam

وَاللَّهِ لاَ يُؤْمِنُ وَاللَّهِ لاَ يُؤْمِنُ وَاللَّهِ لاَ يُؤْمِنُ قِيلَ وَمَنْ يَا رَسُولَ اللَّهِ قَالَ الَّذِي لاَ يَأْمَنُ جَارُهُ بَوَائقَهُ

“Demi Allah! seseorang tidak akan beriman (beliau mengucapkannya tiga kali), Para sahabat bertanya: “Siapakah dia Wahai Rasulullah ?” Beliau menjawab: “Orang yang tetangganya tidak merasa aman dari gangguannya.” [HR. Bukhari]

Dan keterangan-keterangan lainnya yang menunjukkan bahwa seorang muslim tidak akan berbuat aniaya kepada orang lain.

KEUTAMAAN AKHLAQ YANG BAIK.
Syaikh Abdurrahman bin Nashir as-Sa’dy rahimahullah berkata: “Banyak nash dalam Al-Qur’an maupun al-Hadits yang menganjurkan untuk berakhlaq yang baik dan memuji orang yang menghiasi diri dengannya, serta menyebutkan keutamaan-keutamaan yang diraih oleh orang yang berakhlaq mulia. Disebutkan pula pengaruh-pengaruh positif dari akhlaq yang mulia berupa manfaat dan maslahat, baik yang umun maupun yang khusus.

1. Di antara faedahnya yang paling besar adalah dalam rangka melaksanakan perintah Allah dan perintah RasulNya n , serta meneladani akhlaq nabi n yang agung. Berakhlaq yang baik iu sendiri merupakan ibadah yang besar sehingga seorang hamba dapat hidup dengan penuh ketenangan dan kenikmatan secara konsisten, di samping ia memperoleh pahala yang besar.

2. Orang yang berakhlaq mulia dicintai oleh orang yang dekat maupun yang jauh, musuh bisa berubah haluan menjadi teman, orang jauh menjadi dekat.

3. Dengan akhlaq yang baik akan memantapkan dakwah yang dijalankan oleh seorang da’i dan guru yang mengajarkan kebaikan, ia mendapat simpati banyak orang. Mereka akan mendengarkan dengan hati yang senang dan siap menerima penjelasannya dengan sebab akhlaq yang baik, juga karena tidak ada yang menghalangi jarak antara keduanya. Allah Azza wa Jalla berfirman:

فَبِمَا رَحْمَةٍ مِّنَ اللهِ لِنتَ لَهُمْ وَلَوْ كُنتَ فَظًّا غَلِيظَ الْقَلْبِ لاَنفَضُّوا مِنْ حَوْلِكَ

“Maka disebabkan rahmat dari Allah-lah kamu berlaku lemah lembut terhadap mereka. Sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu”. [ali Imran: 159]

Keterangan tambahan (dari penyusun):
“Sebelum melanjutkan penjelasan Syaikh Abdurrahman bin Nashir As-Sa’dy rahimahullah, ada baiknya kita mendengarkan penjelasan Syaikh Shalih bin Abdul Aziz Alu Syaikh dalam ceramahnya yang berjudul Al-Ghutsa’u wal bina’u. Beliau berkata: “Terdapat kontradiksi antara ilmu yang dipelajari oleh sebagian orang dengan amalan mereka. Sebagian dari mereka tidak memiliki akhlaq yang mulia, tidak suka bersilaturrahmi, suka berdusta, mengingkari janji, kasar, bermuka masam, padahal senyummu kepada saudaramu adalah shadaqah. Juga kurang aktif dalam amal sosial, seperti membantu para janda, anak yatim dan orang-orang yang butuh bantuan. Hendaklah dakwah itu tidak sebatas di atas mimbar dan ceramah di majelis ilmu saja, hendaklah dibarengi dengan dakwah bil hal (dengan perbuatan) dan akhlaq yang mulia, karena pengaruhnya lebih besar daripada berdakwah dengan kata-kata…”

4. Akhlaq itu merupakan ihsan (berbuat baik kepada orang lain) yang terkadang memiliki nilai tambah melebihi ihsan dengan harta. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

إِنَّكُمْ لَنْ تَسَعُوا النَّاسَ بِأَمْوَالِكُمْ وَلَكِنْ لِيَسَعْهُمْ حُسْنُ الْخُلُقِ

“Sesungguhnya kalian tidak akan dapat memuaskan manusia dengan harta-harta kalian tetapi yang dapat memuaskan mereka adalah akhlaq yang baik”.

Yang sempurna apabila kedua hal tersebut dimiliki sekaligus, akan tetapi jika seseorang tidak punya sehingga tidak dapat berbuat baik kepada orang lain dengan materi, maka dapat diganti dengan akhlaq yang baik, yaitu dengan perilaku dan ucapan yang baik, bahkan mungkin mempunyai pengaruh yang lebih membekas daripada berbuat baik dengan harta.

5. Dengan akhlaq yang baik, hati yang tenang dan tentram akan memantapkan seseorang untuk mendapatkan ilmu yang ia inginkan.

6. Dengan akhlaq yang baik, memberikan kesempatan bagi orang yang berdiskusi untuk mengemukakan hujjahnya, dan ia dapat pula memahami hujjah teman diskusinya, sehingga bisa terbimbing menuju kebenaran dalam perkataan dan perbuatannya. Di samping itu akhlaq yang baik menjadi faktor terkuat untuk mendapat kedua hal tersebut di atas pada teman diskusinya. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Sesungguhnya Allah memberikan pada kelembutan apa yang tidak Dia berikan pada kekasaran”. [HR. Thabrani, Syaikh Ali bin Hasan menshahihkannya berdasarkan syawahidnya]

7. Akhlaq yang baik dapat menyelamatkan seorang hamba dari sikap tergesa-gesa dan sikap sembrono, disebabkan oleh kematangannya, kesabarannya dan pandangannya yang jauh ke depan, mempertimbangkan berbagai kemungkinan dan menghindarkan bahaya yang ia khawatirkan.

Faidah: Syaikh Shalih Alu Syaikh menyebutkan dalam ceramahnya yang berjudul Al-Ghutsa’ wal bina’ bahwa ada empat fenomena yang bisa mengotori dakwah yaitu:
a. Memandang sesuatu hanya dari satu sisi, tidak dari sisi yang lain. Biasanya mereka ini telah mendapatkan doktrin dari guru mereka dan selalu didikte sehingga tidak bisa berpendapat lain, selain yang digariskan.
b. Terburu-buru.
c. Fanatik madzhab, fanatik kelompok serta kultus individu
d. Menuntut kesempurnaan pihak lain, baik perorangan ataupun lembaga. Selama sama dalam Ushul, yaitu sama-sama Ahlussunnah wal jama’ah, maka yang ada dalam hal ini adalah saling memberi nasehat.)

8. Dengan akhlaq yang baik seseorang dapat menunaikan hak-hak yang wajib dan sunnah kepada keluarga, anak-anak, kerabat, teman-teman, tetangga, customer (pelanggan) dan semua orang yang berhubungan dengannya, karena berapa banyak hak orang lain yang terabaikan disebabkan oleh akhlaq yang buruk.

9. Akhlaq yang baik itu membawa kepada sifat adil. Orang yang berakhlaq baik biasanya tidak melegalisasi semua tindakan dan ia akan menjauhi sikap keras kepala pada pendapatnya sendiri, karena keduanya itu mengakibatkan sikap tidak adil dan menzhalimi orang lain.

10. Orang yang berakhlaq baik selalu dalam keadaan tenang dan penuh dengan kenikmatan dan hatinya tentram sebagai modal bagi kehidupan yang bahagia. Adapun orang yang berakhlaq buruk selalu dalam keadaan sengsara, tersiksa lahir batin, selalu dalam pertentangan dengan dirinya sendiri, dengan anak-anaknya, dengan orang-orang yang berhubungan dengannya. Hidupnya menjadi terganggu, waktunya sia-sia, tidak mendapatkan keutamaan-keutamaan dari akhlaq yang baik, bahkan yang ia dapatkan adalah akibat yang jelek disebabkan akhlaq yang buruk.

Dengan semua ini atau yang semisalnya akan membuat jelas maksud sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam.

إِنَّ الْعَبْدَ لَيُدْرِكُ بِحُسْنِ خُلُقِهِ دَرَجَةَ الصَّائِمِ الْقَائِمِ

“Sesungguhnya seorang hamba benar-benar bisa mencapai derajat orang yang berpuasa dan sholat dengan baik hanya dengan akhlaq yang baik” [5].
[Dinukil dari “A-Mu’in ‘ala tah-shili adabil’ilmi” hal. 61-65]

BEBERAPA CARA MEMPROLEH AKHLAQ YANG BAIK.
Akhlaq yang baik dapat memiliki oleh manusia dengan dua jalan:
1. Sifat dasar yang sudah ada sebelumnya sebagai pemberian dari Allah, dan pemberian dari Allah ini diberikan kepada orang yang Dia kehendaki. Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda kepada Asyaj Abdul Qais:

إِنَّ فِيكَ خَلَّتَيْنِ يُحِبُّهُمَا اللَّهُ الْحِلْمُ وَالْأَنَاةُ قَالَ يَا رَسُولَ اللَّهِ أَنَا أَتَخَلَّقُ بِهِمَا أَمِ اللَّهُ جَبَلَنِي عَلَيْهِمَا قَالَ بَلِ اللَّهُ جَبَلَكَ عَلَيْهِمَا قَالَ الْحَمْدُ لِلَّهِ الَّذِي جَبَلَنِي عَلَى خَلَّتَيْنِ يُحِبُّهُمَا اللَّهُ وَرَسُولُهُ

“Sesungguhnya pada dirimu terdapat dua akhlaq yang dicintai Allah, yaitu tahan emosi dan teliti.” Asyaj bertanya: “Wahai rasulullah, apakah kedua akhlaq tersebut karena usahaku untuk mendapatkannya ataukah pemberian dari Allah?” Beliau menjawab: “Pemberian dari Allah sejak awal.” Asyaj berkomentar: “Segala puji bagi Allah yang memberiku dua akhlaq yang dicintai oleh Allah dan RasulNya sebagai sifat dasar.” [6].

2. Dengan cara berusaha untuk mendapatkan akhlaq yang baik.
Syaikh Abdurrahman bin Nashir as-Sa’dy t menjelaskan bahwa setiap perbuatan terpuji, baik yang nampak maupun yang tidak nampak, pasti dimudahkan oleh Allah untuk mendapatkannya. Di samping usaha kita, maka watak dasar sebagai faktor terbesar yang dapat membantu seseorang untuk memperoleh akhlaq yang baik, dengan sedikit usaha saja bisa tercapai apa yang ia kehendaki.

Kemudian Syaikh Abdurrahman menjelaskan beberapa sebab untuk memperoleh akhlaq yang baik:
a. Ketahuilah termasuk faktor terbesar yang dapat membantu seseorang memperoleh akhlaq yang baik adalah dengan cara berfikir tentang keutamaan-keutamaan akhlaq yang baik. Karena motivasi terbesar untuk melakukan seuatu perbuatan baik adalah mengetahui hasil dan faidah yang dapat dipetik darinya, meskipun perkara tersebut suatu perkara yang besar, penuh dengan tantangan dan kesulitan, akan tetapi dengan bersakit-sakit dahulu dan bersenang-senang kemudian, maka kesulitan dan beban yang berat itu akan terasa ringan.

Setiap kali terasa berat bagi jiwa untuk berakhlaq yang baik, segeralah ia diingatkan dengan keutamaan-keutamaan akhlaq yang mulia dan hasil yang akan diperoleh dengan sebab kesabaran, maka dirinya akan melunak, tunduk patuh, pasrah dan penuh harapan untuk mendapatkan segala keutamaan yang didambakan.

b. Faktor terbesar lainnya dalah faktor kemauan yang kuat dan keinginan dan tulus untuk memiliki akhlaq yang mulia. Ini adalah seutama-utama bekal seseorang yang diberi taufiq oleh Allah. Maka semakin kuat keinginan untuk berakhlaq yang mulia, –insya Allah- akan semakin mudah untuk mencapainya. [7].

c. Hendaklah seseorang memperhatikan, bukankah akhlaq yang buruk akan mengaibatkan penyesalan yang mendalam dan kegelisahan akan selalu menyertainya? di samping pengaruh-pengaruh buruk lainnya. Dengan demikian ia akan menolak berperilaku dengan akhlaq yang buruk.

d. Melatih diri dengan akhlaq yang baik [8] dan memantapkan jiwa untuk meniti sarana-sarana yang bisa membawa kepada akhlaq yang baik. Hendaklah seseorang mengokohkan dirinya untuk siap berbeda pendapat dengan orang lain, karena orang yang berakhlaq baik pasti akan mendapat penentangan dari orang banyak, baik dalam pemahaman ataupun dalam keinginan.

Setiap muslim pasti akan mendapatkan gangguan,baik berupa ucapan ataupun perbuatan. Maka hendaklah ia tabah dalam menanggung derita.

Perlu diketahui, bahwa gangguan berupa ucapan yang menyakitkan hanya akan merugikan si pengucapnya, dan seseorang dikatakan tegar jika ia tidak terpancing dengan ucapan-ucapan yang dimaksudkan untuk memancing emosinya, karena ia tahu jika ia terpengaruh atau marah berarti ia telah membantu si pengucap yang menginginkan kerugiannya.

Jika ia tidak peduli, tidak ambil pusing dan bersikap acuh, maka hal itu akan menjengkelkan hati si pengganggu yang bertujuan hanya menyakiti hatinya, membuatnya menjadi gusar, gelisah dan cemas. Sebagaimana manusia itu berusaha menghindari gangguan yang akan menimpa fisiknya, maka hendaklah ia berusaha pula menghindari setiap gangguan yang menimpa batinnya, yaitu dengan tidak memberi perhatian kepadanya. [Buku Al-Mu’in ‘Ala Tah-shiili Adabil ilmi wa Akhlaaqil Muta’limin… hal. 66-68]

e. Termasuk usaha yang paling penting dan paling berpengaruh adalah berdo’a kepada Allah, meminta agar Dia memberikan taufiq kepada kita semua dan mengaruniakan kepada kita akhlaq yang baik, dan agar menghindarkan diri kita semua dari akhlaq yang buruk. Semoga Allah membantu dan memudahkan kita dalam rangka memperoleh akhlaq yang baik.

… وَاهْدِنِي لِأَحْسَنِ الْأَخْلاَقِ لاَ يَهْدِي لِأَحْسَنِهَا إِلاَّ أَنْتَ وَاصْرِفْ عَنِّي سَيِّئَهَا لاَ يَصْرِفُ عَنِّي سَيِّئَهَا إِلاَّ أَنْتَ …

“(Wahai Allah) Berilah aku petunjuk kepada akhlaq yang baik, karena tidak ada yang dapat memberikan petunjuk kepada akhlaq yang baik kecuali Engkau, dan palingkanlah dariku keburukan, karena tidak ada yang dapat memalingkan keburukan kecuali Engkau” [9]

Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam juga pernah berdo’a dengan do’a sebagai berikut:

اللَّهُمَّ جَنِّبْنِيْ مُنْكَرَاتِ الْأَخْلاَقِ وَالْأَعْمَالِ وَالْأَهْوَاءِ و الأَدْوَاءِ

“Wahai Allah, jauhkanlah aku dari kemungkaran-kemungkaran akhlaq, dari kemungkaran-kemungkaran amal, dari kemungkaran-kemungkaran nafsu dan dari penyakit”
.
Dalam riwayat yang lain:

اللَّهُمَّ إِنِّي أَعُوذُ بِكَ مِنْ مُنْكَرَاتِ الْأَخْلاَقِ وَالْأَعْمَالِ وَالْأَهْوَاءِ

“Wahai Allah, sesungguhnya saya berlindung kepadaMu dari kemungkaran-kemungkaran akhlaq, dari kemungkaran-kemungkaran amal, dari kemungkaran-kemungkaran hawa nafsu” [HR. Tirmidzi 5/233, dan dishahihkan oleh Al-Albani dalam Shahih Tirmidzi 3/184]

Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah berdo’a pula:

اللَّهُمَّ كَمَا أَحْسَنْتَ خَلْقِي فَأَحْسِنْ خُلُقِي

“Wahai Allah sebagaimana Engkau telah membaguskan tubuhku, maka baguskanlah akhlaqku”. [HR. Ahmad dan dishahihkan oleh Al-Albani dalam Shahih Jami’ush Shagir 1/280]

PENUTUP
Sementara hanya inilah yang bisa kami kumpulkan untuk para pembaca dari beberapa literatur, sebenarnya masih ada lagi literatur- literatur lain yang menunjang dan menyempurnakan risalah ini. Semoga Allah memudahkanku agar dapat menyempurnakan risalah ini dan lebih memuaskan para pembaca dalam hal informasi-informasi yang bermanfaat, untuk selanjutnya dapat dijadikan sebagai pedoman dan petunjuk dalam kehidupan sehari-hari.

Referensi:
1. Tauhid Perioritas Pertama dan Utama oleh Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Albani, penerbit Darul Haq, Jakarta.
2. Tafsir Ibnu Katsir
3. Makarimul Akhlaq oleh Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin, penyusun Khalid Abu Shalih, Riyadh, K. S. A. cet. I tahun 1417/1996 M tanpa penerbit.
4. Kitabul Ilmi oleh oleh Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin, penyusun: Fahd bin Nashir bin Ibrahim as-Sulaiman, Penerbit Dar Ats Tsuraya –Riyadh-KSA. Cet. I tahun 1417/1996 M
5. Ghayatul Maram
6. Shilatul Akhlaq bil ‘Aqidah wal Iman, oleh Syaikh Sulaiman bin Shalih Al-Ghusn, penerbit: Daar Al-‘Ashimah-Riyadh-K.S.A. cet. 1415 H
7. Al-Mu’in ala Tahshiili Adabil Ilmi wa Akhlaqil Muta’alimin, oleh Syaikh Abdurrahman bin Nashir as-Sa’dy, penyusun Syaikh Ali bin Hasan bin Ali bin Abdul Hamid, penerbit: Daar As-Shumaili-Riyadh-K.S.A. Cet. I tahun 1413 H-1993 M
8. Fiqhul Akhlaq wal Mu’amalaat Bainal Mukminin, oleh Abu Abdullah Musthafa bin Al-Adawi, penerbit Dar Ibnu Rajab-Mesir, cet. II th. 1419 H-1998 M
9. Al-Akhlaqul Faadhilah, Qawa’id wa Muntalaqaat Liktisabiha, Oleh Doktor Abdullah bin Dha’ifullah Ar-Ruhaili, cet. I th. 1417 H/1996 M-Riyadh-K.S.A. tanpa penerbit.
10. Shahih Muslim, tahqiq Muhammah Fuad Abdul Baqi’
11. Ad-Du’a Minal Kitab was-Sunnah, oleh DR. Sa’id bin Wahf Al-Qahthani
12. Iqadzul Himam Al-Muntaqa min Jami’il Ulumi wal Hikami lil Hafizh Ibnu Hajar, oleh Syaikh Salim bin Ied al-Hilali, penerbit: Dar Ibnul jauzi-Dammam-K.S.A. Cet. I th. 1412 H/1992 M
13. Mushaf Al-Qur’an dan terjemah maknanya, cetakan Madinah Nabawiyah-K.S.A. th. 1411 H
14. Taudhihul Ahkaam min Bulughil Maraam, oleh Syaikh Abdullah bin Abdurrahman Al-Bassam, penerbit: Maktabah An-Nahdhah Al-haditsah Makkah Al-Mukarramah –K.S.A. Cet. III th. 1417 H –1997 M.

[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 12/Tahun V/1422H/2001M. Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-761016]
_______
Footnote
[1]. Lihat Buku. “TAUHID Prioritas utama dan pertama” hal. 27-28, oleh Syaikh Muh. Nashiruddin Al-Albani rahimahullah, penerbit Darul Haq Jakarta
[2]. Makarimul Akhlaq oleh Syaikh Ibnu Utsaimin, hal: 9
[3]. Pembahasan tentang akhlaq kepada sesama makhluq
[4]. Makarimul Akhlaq, hal: 23; Taudhihul Ahkam, hal: 6/222
[5]. Syaikh Ali Hasan berkata: HR. Abu Daud (4798), Ibnu Hibban 1927, Hakim (I/60), Al-Baghawi (13/81), dari Aisyah, sanadnya terputus. Tetapi hadits ini memiliki penguat dengan sanad yang hasan, diriwayatkan oleh Hakim dalam al-Mustadrak 1/60, Thabrani dalam Mu’jam al-Ausath (lembaran ke 141/sisi b), dari Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu . Lih. Ad-Duur al-Mantsur 2/75 dan at-Tarhib 3/404. Syaikh Sulaiman berkata: HR. Abu Daud dalam kitab al-Adab, bab fi husnil khuluq 4/252, dan dishahihkan oleh Al-Albani dalam Shahih Jami’ Shagir
[6]. HR. Abu Daud no. 5225, Ahmad (4/206), Muslim bagian pertama no. 25, 26 dan Tirmidzi no. 2011
[7]. Al-Imam Ibnul Qayyim berkata dalam Al-Fawaid, hal 210-211: “Adapun akhlaq yang baik, seperti sabar, berani, adil, kesatria, menjaga kesucian diri, memelihara kehormatan, dermawan, tahan emosi, pemaaf, tidak mendemdam, tahan derita, mengutamakan orang lain, memiliki harga diri dari tindakan orang lain, rendah hati, merasa cukup, jujur, ikhlash, membalas kebaikan dengan kebaikan yang sepadan atau dengan lebih baik, pura-pura tidak tahu dengan kesalahan orang lain yang tidak disengaja, tidak menyibukkan diri dengan hal-hal yan tidak bermanfaat, celaan hati terhadap orang yang berakhlaq yang buruk. Itu semua muncul dari kekhusyu’an dan kemauan yang kuat. Allah Subhanahu wa Ta’ala memberitahukan tentang bumi ini asalnya tenang, kemudian air mengenainya, maka bergeraklah bumi (menumbuhkjan berbagai tanaman-Red), lalu berubah menjadi bumi yang indah dan menawan, begitu juga makhluq akan menjadi indah dan menawan jika mendapatkan taufik dari Allah. (Dinukil dari buku Makarimul Akhlaq, hal 15
[8]. Al-Imam Ibnul Qayyim berkata dalam kitab Madarikus Salikin 2/300: “Penyucian jiwa lebih berat dan lebih sulit dibandingkan dengan pengobatan badan. Barangsiapa menyucikan jiwanya dengan latihan, usaha keras, dan menyendiri, tanpa ada contoh dari Rasul Shallallahu ‘alaihi wa sallam maka ia seperti orang sakit yang menyembuhkan dirinya dengan pendapatnya semata. Bisa dibayangkan bagaimana akibatnya jika dibandingkan dengan pengobatan dokter ?! Sesungguhnya para rasul itu adalah dokter-dokter hati, maka tidak ada jalan untuk menyucikan dan memperbaiki hati kecuali melalui jalan dan metode mereka, dengan cara tunduk dan menyerahkan diri sepenuhnya untuk mengikuti para rasul, hanya kepada Allah semata kita memohon pertolonganNya. (Dinukil dari Makarimul Akhlaq hal. 33)